Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Ekonomi Inklusif untuk Penyandang Disabilitas, Sebuah PR Besar

1 Juli 2022   20:08 Diperbarui: 1 Juli 2022   20:09 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi inklusif (Sumber gambar: Freepik.com)

Daripada menanamkan hal-hal muluk, akan lebih berguna jika mereka diajak belajar realistis, supaya adaptif terhadap situasi serba tidak pasti. Bagaimanapun, budaya perlakuan terhadap difabel di Indonesia masih cukup "keras", jika dibandingkan dengan negara-negara yang sudah lebih terbuka pada difabel.

Di sisi lain, rekrutmen kerja yang ada umumnya masih memberikan kesempatan terbatas dalam bentuk kerja magang, dan semakin terbatas saat naik ke level kerja kontrak apalagi tetap.

Berwirausaha? Tetap perlu keterampilan dan modal cukup untuk membiayai proses "trial and error". Di sini, punya mimpi saja tidak cukup, karena mimpi itu harus tetap dieksekusi.

Apa boleh buat, ketimpangan pun tetap terjaga. Di saat pekerja dengan kondisi fisik normal bisa menetap di satu tempat sampai pensiun, para penyandang disabilitas terpaksa jadi kutu loncat; dari satu magang ke magang lain, dari satu kontrak ke kontrak lain, bahkan bekerja serabutan.

Tidak ada yang berkelanjutan di sini, selain ketidakpastian, ketimpangan ekonomi, dan kalimat motivasi tanpa solusi nyata. Sebelum pandemi saja ini sudah jadi masalah, apalagi setelah pandemi dan beragam efek dominonya datang susul menyusul.

Padahal, penyandang disabilitas juga manusia yang berhak hidup layak. Mereka jauh lebih membutuhkan kesempatan nyata yang bermanfaat jangka panjang, ketimbang terus dicekoki kata-kata manis tapi memabukkan.

Maka, ketika ekonomi Inklusif dengan orientasi jangka panjang dicanangkan pemerintah, memang sudah seharusnya itu dilakukan, karena negara seharusnya hadir untuk semua warganya, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus.

Di sini, saya menyebut ekonomi Inklusif sebagai satu PR besar, karena ada hambatan budaya yang harus lebih dulu diberantas. Suka atau tidak, kita perlu mengakui, perlakuan diskriminatif terhadap difabel masih jadi satu budaya negatif, karena sudah lama ada, bahkan sejak dalam pikiran.

Padahal, menjadi penyandang disabilitas seharusnya bukan sebuah dosa. Mereka adalah manusia berkebutuhan khusus yang juga berhak dimanusiakan.

Jika budaya inklusif ini dapat dibangun dengan baik, disinilah kita baru boleh bicara lebih lanjut soal ekonomi Inklusif. Seperti halnya diskriminatif, sikap inklusif pun seharusnya dapat dibudayakan.

Budaya inklusif yang kuat akan membuat kesetaraan lebih mudah tercapai, karena semua sudah bisa berpemikiran terbuka, tidak diskriminatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun