Mohon tunggu...
mort retardée
mort retardée Mohon Tunggu... Penulis

Menulis, membaca , rekreasi. Jika gagal jangan takut untuk mencoba kembali.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Agustus 2025: Kemerdekaan yang Ternoda

30 Agustus 2025   15:21 Diperbarui: 30 Agustus 2025   15:21 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian I: Bulan Merah Putih yang Membiru

Agustus selalu datang dengan romantisme. Bendera merah putih berkibar di setiap jalan, anak-anak berlari sambil membawa balon, dan ibu-ibu sibuk menyiapkan lomba tujuh belasan. Namun tahun ini, suasana berbeda. Ada hawa tegang di udara, ada kegelisahan di wajah rakyat.

Agustus 2025 bukan sekadar bulan perayaan, melainkan bulan ujian. Rakyat yang sudah lama menahan sabar akhirnya kehilangan kendali. Perayaan kemerdekaan justru berubah menjadi momentum mempertanyakan makna kemerdekaan itu sendiri.

Apakah kemerdekaan hanya milik elit yang hidup bergelimang fasilitas? Ataukah milik seluruh rakyat yang kini tercekik harga kebutuhan pokok, pajak, dan represi?

---

Bagian II: Api yang Menyala dari Pati

13 Agustus, Pati menjadi titik awal gejolak. Rakyat kecil, para petani, pedagang, dan buruh, turun ke jalan. Mereka tidak menuntut banyak, hanya menolak kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB-P2) yang melonjak hingga 250%.

Bayangkan seorang petani dengan sawah kecil, yang hasil panennya bahkan tak cukup untuk menyekolahkan anak. Tiba-tiba ia mendapat tagihan pajak yang tak masuk akal. Apa yang bisa ia lakukan selain marah?

Namun pemerintah daerah seolah tuli. Mereka lebih cepat mengerahkan polisi dan aparat ketimbang membuka pintu dialog. Jalanan Pati dipenuhi gas air mata. Teriakan rakyat dibalas dengan pentungan.

Hari itu, rakyat sadar: pemerintah lebih takut pada protes rakyat kecil ketimbang pada keserakahan elit.

> "Kami hanya ingin hidup, bukan melawan negara," teriak seorang ibu di tengah kericuhan.

Tapi suara itu tenggelam di balik sirene dan gas air mata.

---

Bagian III: Bendera Bajak Laut, Simbol yang Ditakuti

Menjelang 17 Agustus, bendera hitam dengan tengkorak putih---simbol bajak laut "One Piece"---berkibar di berbagai daerah. Sebuah simbol protes kreatif, sederhana, namun penuh makna.

Bagi rakyat, itu adalah cara mengungkapkan: "Negeri ini dikuasai perompak." Perompak bukan dari laut, melainkan dari gedung-gedung ber-AC, dari kursi empuk parlemen, dari lingkaran elit yang hidup nyaman di atas penderitaan rakyat.

Namun pemerintah justru gemetar. Mereka menyebut bendera itu sebagai ancaman terhadap negara, bahkan mengancam akan menindak para pengibarnya.

Ironis. Di negeri demokrasi, bendera fiksi dianggap lebih berbahaya daripada fakta nyata: rakyat lapar, pendidikan mahal, kesehatan sulit dijangkau.

Simbol yang seharusnya dibaca sebagai kritik malah ditafsir sebagai penghinaan. Padahal, rakyat sedang berbicara dengan bahasa yang paling mudah: sindiran.

---

Bagian IV: DPR, Sarang Kemewahan di Tengah Penderitaan

Seakan belum cukup, rakyat disuguhi berita pahit: DPR mendapat tunjangan hunian Rp50 juta per bulan.

Sementara banyak rakyat mengais rezeki dari subuh hingga malam hanya untuk membayar kontrakan sempit, para wakil rakyat hidup mewah dengan uang negara. Sementara anak-anak desa putus sekolah karena tak mampu bayar seragam, para pejabat berfoya-foya di apartemen mewah.

Kabar itu meledak seperti bom. Rakyat marah. Demonstrasi menjalar ke berbagai daerah. Rakyat menilai: inilah puncak dari penghinaan.

> "Kami dipaksa bayar pajak tinggi, sementara mereka tidur di rumah mewah dari keringat kami," kata seorang buruh di Jakarta.

Puncak ironi: rakyat bekerja keras untuk menghidupi wakilnya, sementara wakilnya sibuk menghidupi dirinya sendiri.

---

Bagian V: Tragedi Affan Kurniawan

Di tengah bara yang belum padam, tragedi datang. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas setelah ditabrak kendaraan Brimob.

Affan bukan pejabat, bukan orang penting, hanya rakyat kecil yang mencari nafkah di jalanan. Namun kematiannya mengguncang negeri. Karena ia merepresentasikan jutaan rakyat kecil yang selalu jadi korban: korban sistem, korban keserakahan, korban arogansi aparat.

Kematiannya menjadi simbol bahwa negara gagal melindungi warganya.

Di Makassar, rakyat murka. Gedung DPRD dibakar massa. Tiga orang meninggal dalam kerusuhan. Api benar-benar membakar, bukan hanya gedung, tapi juga hati rakyat.

Pemerintah bereaksi dengan permintaan maaf. Tapi rakyat sudah bosan. Kata-kata "maaf" terdengar basi, seperti kaset rusak yang diputar berulang.

---

Bagian VI: Militerisasi Kehidupan Sipil

Alih-alih belajar dari amarah rakyat, pemerintah justru menambah luka. Presiden mengumumkan pembentukan 100 batalion militer baru, bukan untuk perang, melainkan untuk mengurus sektor sipil: pangan, pembangunan, bahkan kehidupan sehari-hari.

Sejarah berulang. Dwifungsi ABRI yang dulu dikubur, kini bangkit dari kubur. Militer masuk ke ruang sipil, demokrasi dipinggirkan.

Apa bedanya dengan Orde Baru? Rakyat hanya bisa bertanya-tanya.

---

Bagian VII: Sejarah yang Dimutilasi

Di tengah semua itu, pemerintah juga coba memanipulasi sejarah. Buku sejarah nasional yang baru dituding menghapus peristiwa kelam: tragedi 1965, reformasi 1998.

Inilah cara paling licik untuk melucuti daya kritis rakyat: menghapus ingatan. Jika rakyat lupa masa lalu, mereka akan mudah dikendalikan.

Namun publik melawan. Akademisi, aktivis, hingga pelajar menolak. Buku itu akhirnya ditunda. Tetapi niat pemerintah sudah jelas: membentuk generasi tanpa ingatan.

---

Bagian VIII: Agustus yang Hitam

Agustus 2025 menjadi catatan kelam. Bulan yang seharusnya penuh kembang api, berubah menjadi bulan penuh api kemarahan.

Dari pajak yang mencekik, bendera protes yang dibungkam, tunjangan elit yang menjijikkan, nyawa rakyat kecil yang hilang, militerisasi sipil, hingga sejarah yang dimanipulasi---semua menyatu menjadi narasi suram bangsa.

Rakyat akhirnya sadar: kemerdekaan yang dirayakan tiap 17 Agustus hanyalah simbol. Kemerdekaan sejati masih jauh, karena yang merdeka sesungguhnya hanyalah mereka yang duduk di kursi kekuasaan.

---

Bagian IX: Alarm untuk Kekuasaan

Agustus 2025 adalah alarm. Alarm bahwa rakyat sudah tidak bisa ditipu dengan retorika kosong. Mereka sudah melihat wajah asli kekuasaan: angkuh, serakah, dan tuli terhadap jeritan rakyat.

Jika pemerintah tidak segera berubah, maka rakyat akan mengambil jalannya sendiri. Perlawanan bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian.

Dan ketika hari itu tiba, sejarah akan mencatat: yang menumbangkan kekuasaan bukan oposisi, bukan musuh asing, melainkan rakyat sendiri---yang muak diperlakukan sebagai penumpang gelap di kapal republik ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun