Kemerdekaan selalu digaungkan sebagai hak setiap warga negara, sebuah titik balik dari penindasan menuju kebebasan. Namun, ketika kita menengok realitas, kemerdekaan itu sering kali hanya berhenti pada slogan. Bagi sebagian orang, kemerdekaan berarti akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan kebebasan berpendapat. Tetapi bagi yang lain, kemerdekaan hanyalah konsep di televisi---sesuatu yang jauh dari genggaman mereka.
Ketidakmerataan kemerdekaan tampak jelas ketika kesenjangan ekonomi menganga lebar. Di pusat kota, orang berbicara tentang inovasi digital dan gaya hidup modern. Di pelosok, warga masih berjuang mendapatkan air bersih dan listrik. Di ruang rapat, elit politik membahas "pembangunan inklusif", sementara di lapangan, pembangunan itu tak pernah benar-benar sampai pada mereka yang paling membutuhkan.
Yang lebih menyedihkan, kemerdekaan berpendapat pun tak selalu merata. Sebagian bisa bersuara lantang di media sosial, tapi sebagian lain dibungkam oleh ancaman, aturan yang kabur, atau rasa takut akan konsekuensi. Kebebasan di atas kertas ternyata berbeda jauh dengan kebebasan di dunia nyata.
Jika kemerdekaan adalah rumah, maka pondasinya adalah keadilan dan pemerataan. Tanpa itu, rumah tersebut akan miring, rapuh, dan suatu saat runtuh. Kita mungkin telah merdeka dari penjajahan asing, tetapi kita belum benar-benar merdeka dari ketidakadilan, kemiskinan, dan diskriminasi. Kemerdekaan sejati hanya ada ketika semua warga negara---tanpa memandang latar belakang, lokasi, atau status sosial---dapat menikmati hak yang sama.
Kemerdekaan yang tidak merata adalah kemerdekaan yang setengah hati. Dan selama janji itu belum tuntas, perayaan kemerdekaan hanyalah pesta yang tak semua orang diundang untuk hadir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI