Aksi demo 25 Agustus bukan sekadar kerumunan massa yang turun ke jalan, melainkan sebuah simbol dari keputusasaan rakyat terhadap wakilnya di parlemen. DPR yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat justru semakin hari kian jauh dari realitas rakyat. Kenaikan gaji, pengesahan kebijakan yang lebih menguntungkan elit, hingga sikap abai terhadap krisis ekonomi dan sosial membuat masyarakat merasa tidak lagi memiliki wakil yang layak dipercaya.
Seruan "turunkan DPR" yang menggema dalam aksi ini adalah bentuk kritik paling keras terhadap lembaga yang dianggap sudah kehilangan legitimasi moral. Bagaimana mungkin rakyat harus terus membiayai kemewahan wakilnya, sementara mereka sendiri kesulitan memenuhi kebutuhan pokok? Bukankah DPR seharusnya berdiri di barisan terdepan memperjuangkan hak rakyat, bukan malah sibuk dengan kepentingan partai dan kantong pribadi?
Demo 25 Agustus mencerminkan akumulasi kekecewaan. Ini bukan sekadar soal gaji DPR, melainkan soal keadilan, kesenjangan, dan hilangnya arah kepemimpinan politik. Tuntutan "menurunkan DPR" adalah bentuk desakan rakyat agar lembaga legislatif kembali pada jalur yang benar: transparan, pro-rakyat, dan akuntabel. Bila DPR tak lagi bisa menjalankan fungsinya dengan benar, maka sudah sewajarnya rakyat menggugat keberadaan mereka.
Sejarah membuktikan, suara rakyat yang bersatu mampu mengguncang kursi kekuasaan manapun. Aksi 25 Agustus adalah momentum pengingat bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan sejati, dan DPR hanyalah mandat yang bisa sewaktu-waktu di
cabut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI