Seakan belum cukup, rakyat disuguhi berita pahit: DPR mendapat tunjangan hunian Rp50 juta per bulan.
Sementara banyak rakyat mengais rezeki dari subuh hingga malam hanya untuk membayar kontrakan sempit, para wakil rakyat hidup mewah dengan uang negara. Sementara anak-anak desa putus sekolah karena tak mampu bayar seragam, para pejabat berfoya-foya di apartemen mewah.
Kabar itu meledak seperti bom. Rakyat marah. Demonstrasi menjalar ke berbagai daerah. Rakyat menilai: inilah puncak dari penghinaan.
> "Kami dipaksa bayar pajak tinggi, sementara mereka tidur di rumah mewah dari keringat kami," kata seorang buruh di Jakarta.
Puncak ironi: rakyat bekerja keras untuk menghidupi wakilnya, sementara wakilnya sibuk menghidupi dirinya sendiri.
---
Bagian V: Tragedi Affan Kurniawan
Di tengah bara yang belum padam, tragedi datang. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas setelah ditabrak kendaraan Brimob.
Affan bukan pejabat, bukan orang penting, hanya rakyat kecil yang mencari nafkah di jalanan. Namun kematiannya mengguncang negeri. Karena ia merepresentasikan jutaan rakyat kecil yang selalu jadi korban: korban sistem, korban keserakahan, korban arogansi aparat.
Kematiannya menjadi simbol bahwa negara gagal melindungi warganya.
Di Makassar, rakyat murka. Gedung DPRD dibakar massa. Tiga orang meninggal dalam kerusuhan. Api benar-benar membakar, bukan hanya gedung, tapi juga hati rakyat.