Mohon tunggu...
Yohanes Ishak
Yohanes Ishak Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Olahraga, Hiburan, dan lain-lain

1 Korintus 10:13 || Jika ingin bekerjasama atau menulis ulang konten yang saya buat, silahkan hubungi email: Yohanes.Ishak92@gmail.com ||

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Aku Melawan Pandemi Covid-19

26 Juli 2021   12:33 Diperbarui: 26 Juli 2021   13:02 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen Saat liburan di Pulau Belitung (Foto Dokumen Pribadi) .

Kapan Pandemi virus corona atau covid-19 akan berakhir? Sebagai orang awam dalam dunia medis, yang saya tahu pandemi covid-19 abadi dan tidak akan pernah berakhir.

Sama seperti penyakit-penyakit atau virus yang telah mendunia, seperti flu, demam, influenza, Typus, TBC, demam berdarah, dan berbagai penyakit lainnya yang dari tahun ke tahun selalu ada.

Artinya, Covid-19 telah menjadi penyakit tetap di planet bumi ini sama seperti penyakit lainnya.

Puji Tuhan saya sangat bersyukur sekali, sudah satu tahun lebih pandemi Covid-19 berada di Indonesia, namun saya belum terkena dampaknya dan semoga saja seterusnya diberi kekuatan oleh Tuhan untuk tetap kebal.

Dalam artikel ini, saya akan sedikit mensharingkan bagaimana perjuangan saya melawan pandemi covid-19.

Ya, perjuangan melawan pandemi atau wabah yang sedang meluas, bukan berjuang untuk sembuh, tetapi untuk menghindari agar tidak positif covid-19.

Dan namanya berjuang untuk menghindari penyakit itu tentu juga tidak mudah dan pasti sulit. Bersyukur lagi ke Tuhan karena saya masih diberikan mental yang cukup kuat sejauh ini untuk melawan pandemi virus yang menyebalkan ini.

Di awal tahun 2020, saya yakin sebagian besar manusia di dunia ini pasti merasa percaya jika tahun 2020 merupakan tahun yang luar biasa, karena dilihat dari bentuk angkanya sangat menarik.

Di awal tahun 2020 lalu, saya punya ambisi dan keyakinan yang sangat tinggi, terlebih di tempat perusahaan kerja saya yang dulu, saat itu bisa dibilang sedang mengalami perkembangan yang cukup tinggi.

Tempat saya bekerja dulu adalah media online olahraga dan kala itu masuk kategori 10 besar, bahkan sempat menempati urutan pertama di alexa sebagai media online olahraga yang sering dibuka oleh masyarakat Tanah Air.

Saat itu juga saya dijanjikan oleh atasan bakal mendapat peningkatan gaji serta sejumlah bonus yang membuat saya dan rekan lainnya semakin bersemangat untuk menuliskan berita olahraga yang tentunya bermanfaat, unik, dan menghibur masyarakat.

Di sisi lainnya, jelang akhir tahun 2019 dan di awal Januari 2020 saya juga saat itu sudah mulai membicarakan poin penting dengan mantan kekasih saya, yaitu pernikahan.

Memang baru sekedar rencana, mulai dari rencana pesta sederhana namun terlihat megah, tempat tinggal, dan sebagainya. Meski hanya rencana kecil, pastinya hal ini membuat saya semakin semangat untuk menjalani hidup.

Namun siapa yang sangka, rencana itu hanya tinggal rencana, karena pada akhir Januari 2020, kami harus berpisah karena ada kesalahpahaman yang membuat hubungan kami dirasa tidak bisa berlanjut.

Seketika itu juga membuat saya menjadi rapuh, namun harus tetap berjuang agar tidak pecah konsentrasi dalam pekerjaan.

Masih dalam tahap move on setelah berpisah dengan mantan kekasih, di bulan Maret 2020, pandemi covid-19 mulai meluas di Tanah Air.

Sejumlah perusahaan sudah banyak yang tutup, memotong gaji dan memecat karyawan. Lagi-lagi, nasib kurang menyenangkan menimpa saya dan rekan kerja karena harus mendapat pemotongan gaji.

Saat itu, saya tak bisa berbuat banyak karena masih tetap bersyukur walau dipotong gaji cukup besar, tapi setidaknya masih ada pemasukkan.

Permasalahan pandemi terus mengganggu, membuat tuntutan pekerjaan semakin besar dan jelas janji kenaikan gaji harus ditunda.

Empat bulan berlalu atau tepatnya di bulan Juli 2020, saya harus menerima nasib, yaitu menjadi korban pemotongan SDM dari perusahaan.

Mencoba untuk tetap tegar, karena saya tahu yang terkena dampak ini bukan hanya saya.

Melewati dua sampai tiga bulan tanpa pekerjaan, saya bisa melaluinya dengan baik. Maksudnya adalah kondisi mental saya belum terganggu dan masih bisa menjalani kehidupan dengan baik.

Barulah pada memasuki pertengahan bulan keempat hingga kesembilan, kondisi mental saya mulai terganggu.

Perasaan galau karena belum move on dari sang mantan kekasih masih menghantui pikiran, rasa kesal, kecewa, dan marah ke Tuhan secara naik turun juga tak pernah berhenti karena saya sulit mendapat pekerjaan.

Sejumlah perusahaan tempat saya lamar juga masih dalam kondisi yang labil untuk menerima karyawan baru atau tidak, karena lagi-lagi alasan Covid-19.

Namun yang membuat saya kecewa dan kesal adalah jika memang banyak perusahaan yang tidak menerima karyawan baru karena alasan Covid-19, bagaimana bisa teman-teman saya yang lain masih ada yang beruntung mendapatkan pekerjaan?

Lebih kesalnya lagi saat mengetahui mereka sudah mengganti pekerjaan sebanyak dua hingga tiga di perusahaan yang berbeda.

Kondisi ini semakin membuat saya tak karuan, terlebih usia orangtua saya juga yang sudah lebih dari 70 tahun membuat saya sebagai anak jelas merasa gagal.

Stress? Frustasi? Sudah pasti, karena mau mencari hiburan kemana-mana juga tidak bisa karena Covid-19 yang semakin merajalela membuat sejumlah tempat wisata, bahkan mall sekalipun menjadi ditutup dan juga sepi.

Karena Pandemi Covid-19, berbagai jalanan juga harus ditutup karena lockdown sesuau aturan wilayah masing-masing.

Jelas hal ini pada akhirnya membuat hiburan saya hanya di rumah aja, yang tentunya harus berjuang juga melawan rasa malas, bosan, jenuh, dan kesal yang terus mengganggu pikiran.

Foto utama pada artikel ini pun sudah cukup menjelaskan, jika saya butuh sekali liburan ke pantai untuk refreshing, namun tidak bisa dilakukan dengan alasan yang sudah jelas.

Situasi ini pada akhirnya sempat membuat saya berdoa ke Tuhan, agar nyawa saya dicabut saja karena merasa sudah tidak ada gunanya lagi saya hidup.

Meski tetap ada rasa takut untuk mati, tetapi saat dalam keadaan frustasi yang tinggi, entah mengapa doa untuk meminta Tuhan mencabut nyawa saya tetap saya panjatkan.

Namun sekali lagi, saya masih harus tetap bersyukur dan selamanya harus tetap bersyukur ke Tuhan, karena saya masih diberikan mental yang baik.

Karena jika tidak, aksi nekat untuk bunuh diri mungkin sudah saya lakukan sejak pertama kali merasakan frustasi yang tinggi.

Saya juga harus bersyukur, karena saya masih beruntung memiliki keluarga yang lengkap, masih bisa makan secukupnya, tidur di tempat yang nyaman, masih ada sejumlah media hiburan lainnya.

Media hiburan yang saya maksudkan adalah saya masih punya smartphone dan laptop yang dilengkapi dengan fasilitas internet, sehingga saya bisa berlangganan sejumlah platform hiburan untuk menontol film dan juga pertandingan olahraga.

Saya juga bisa bermain sejumlah game dari smartphone, konsol PlayStation, dan bisa menyalurkan hobi sekaligus menjaga skill menulis saya di blog Kompasiana ini.

Lebih terpenting lagi saya bersyukur masih bertahan hidup dengan baik, masih bisa bernapas dengan baik tanpa harus menggunakan bantuan oksigen.

Walau harus melawan rasa frustasi sangat tidak mudah, namun kunci untuk menghadapi pandemi covid-19 adalah dengan bersyukur.

Saya tahu berbicara itu mudah sekali dan melaksanakannya sangat sulit, saya pun pernah merasakannya.

Saya juga sadar betul, jika banyak yang nasibnya tidak seberuntung saya dan ada juga yang nasibnya lebih beruntung dari saya, jadi yang paling penting adalah bisa tetap hidup sehat dan selalu bersyukur.

Bersyukur dengan apa yang kita punya itu sudah baik, karena apa yang kita punya itu belum tentu dimiliki oleh orang lain.

Jangan membandingkan keberuntungan orang lain yang lebih baik dengan kita punya, karena jika sudah seperti itu tidak akan ada habisnya dan artinya kita tidak pernah bersyukur.

Para Kompasianers dan Sones sekalian, kehidupan yang kita jalani masa sekarang sedang tidak mudah.

Saya pun sejauh ini masih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan, karena dalam beberapa bulan terakhir sejumlah perusahaan yang telah menginterview saya tiba-tiba tak ada kabar.

Saya hanya bisa berserah ke Tuhan dan tetap berusaha untuk bersyukur, karena masa kini juga sedang PPKM dan segala sesuatu banyak yang dibatasi karena covid-19, jadi mungkin saja perusahaan tempat saya melamar sedang punya masalah sendiri.

Jadi, jangan terus berpikir nasib kita paling buruk, nasib kita paling sial, atau paling menyedihkan.

Percayalah, kita selalu mendapatkan perlindungan dari Tuhan dan walaupun sulit, teruslah bersyukur dengan apa yang kita miliki di tengah pandemi covid-19 ini.

Semoga artikel ini bermanfaat, salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun