Mohon tunggu...
YM. Lapu
YM. Lapu Mohon Tunggu... Puisi, Merangkai Rasa Memeluk Jiwa

Kata-Kata Tumpah Dari Kepalaku Berceceran Dan Luber Kemana-Mana Berserakan,Kemudian menjadi kepingan di sudut ruang (yml)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerbung : Ruang Tak Bernama ( Bagian 4)

7 Maret 2025   00:32 Diperbarui: 7 Maret 2025   00:36 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Percakapan Rahasia

Anya tidak bisa lagi mengabaikan rasa takutnya. Raka semakin tidak terkendali. Tatapannya terlalu lama. Kata-katanya terlalu dalam. Dan sikapnya... terlalu mengancam.

Siang itu, di ruang kecil yang biasa digunakan untuk makan siang, Anya duduk berhadapan dengan Dimas dan Reno---dua rekan kerja yang sudah lama ia percayai.

"Aku nggak tahu harus gimana," suara Anya nyaris bergetar. "Dia makin aneh. Dia mulai memperhatikan setiap gerakanku, bahkan sampai marah kalau aku sibuk dengan orang lain."

Dimas dan Reno saling berpandangan.

"Kami sudah lama memperhatikan dia," kata Reno akhirnya. "Dia memang selalu punya cara buat 'ada' di sekitar kamu."

Dimas menyilangkan tangan. "Kamu udah bilang ke suamimu?"

Anya menggeleng cepat. "Aku nggak mau buat masalah makin besar."

Reno menarik napas dalam. "Oke, kita harus tahu seberapa jauh dia bisa melangkah. Menurutku, kamu harus terima ajakan dia ketemu di luar kantor."

Anya menatapnya dengan terkejut. "Apa? Itu gila."

"Tidak untuk kencan," Dimas menimpali. "Tapi untuk tahu sejauh mana perasaan dia. Kalau dia hanya suka secara biasa, mungkin dia akan mundur. Tapi kalau ini lebih dari itu... kita harus siap."

Anya menggigit bibirnya. Logikanya menolak ide itu, tapi hatinya tahu---ini satu-satunya cara untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada di kepala Raka.

"Bagaimana kalau dia makin terobsesi?" suaranya lemah.

"Kita bakal ada di sekitar lokasi," kata Reno, tatapannya serius. "Kita nggak akan biarkan kamu sendirian."

Anya menelan ludah. Ia tahu ini berbahaya. Tapi jika ia terus menghindar, Raka mungkin akan semakin gila.

Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya.

Pesan itu diketik pelan, sebelum akhirnya dikirim.

"Raka, aku pikir kita memang perlu bicara. Besok sore, di kafe dekat kantor. Aku akan datang."

Tidak sampai dua menit, balasan itu masuk.

"Akhirnya."

Dan saat itu, Anya merasakan sesuatu yang lebih menakutkan daripada sekadar perhatian berlebih---ini bukan lagi tentang rasa suka. Ini tentang seseorang yang merasa telah memiliki dirinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun