Awal yang Biasa
Langit masih mendung ketika Anya menjejakkan kaki di lobi kantor. Udara dingin dari pendingin ruangan menyergap kulitnya yang masih lembap karena gerimis pagi. Di tangannya, ada segelas kopi yang baru saja dibelinya dari kafe langganan di lantai bawah.
Hari ini seharusnya berjalan seperti biasa---rapat pagi, menyusun laporan, dan berkoordinasi dengan tim proyek. Tapi satu hal yang tak pernah berubah adalah keberadaan Raka.
"Udah sarapan?" suara itu terdengar di belakangnya.
Anya menoleh, lalu tersenyum kecil. "Udah, tadi di rumah."
Raka mengangguk pelan. Ia bukan orang yang banyak bicara, tapi selalu ada di sekitar. Jika ada pekerjaan yang butuh diskusi, Raka adalah orang pertama yang bersedia membantu. Jika ada yang harus dikoreksi, ia akan memberikan masukan tanpa banyak basa-basi. Dan jika ada hal-hal kecil seperti urusan makan siang atau sekadar memeriksa apakah Anya sudah pulang tepat waktu, Raka selalu memastikan semuanya baik-baik saja.
Bagi Anya, itu bukan hal yang aneh. Kantor ini bukan sekadar tempat bekerja, tapi juga ruang di mana hubungan antarindividu terjalin---bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai manusia yang saling peduli.
"Meeting jam sembilan, ya. Jangan lupa," kata Raka, menyerahkan beberapa berkas yang harus ditinjau.
"Siap, aku cek dulu," jawab Anya, kembali fokus pada laptopnya.
Saat Raka berjalan pergi, Anya tidak berpikir apa-apa. Baginya, Raka hanyalah teman kerja yang baik. Tidak lebih.
Namun, tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang terus memperhatikannya lebih dari sekadar rekan kerja biasa.