Anya menggigit bibirnya. Logikanya menolak ide itu, tapi hatinya tahu---ini satu-satunya cara untuk mencari tahu apa yang sebenarnya ada di kepala Raka.
"Bagaimana kalau dia makin terobsesi?" suaranya lemah.
"Kita bakal ada di sekitar lokasi," kata Reno, tatapannya serius. "Kita nggak akan biarkan kamu sendirian."
Anya menelan ludah. Ia tahu ini berbahaya. Tapi jika ia terus menghindar, Raka mungkin akan semakin gila.
Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya.
Pesan itu diketik pelan, sebelum akhirnya dikirim.
"Raka, aku pikir kita memang perlu bicara. Besok sore, di kafe dekat kantor. Aku akan datang."
Tidak sampai dua menit, balasan itu masuk.
"Akhirnya."
Dan saat itu, Anya merasakan sesuatu yang lebih menakutkan daripada sekadar perhatian berlebih---ini bukan lagi tentang rasa suka. Ini tentang seseorang yang merasa telah memiliki dirinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI