Mohon tunggu...
YM. Lapu
YM. Lapu Mohon Tunggu... Puisi, Merangkai Rasa Memeluk Jiwa

Kata-Kata Tumpah Dari Kepalaku Berceceran Dan Luber Kemana-Mana Berserakan,Kemudian menjadi kepingan di sudut ruang (yml)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ruang Tak Bernama (Bagian 3)

3 Maret 2025   05:41 Diperbarui: 3 Maret 2025   05:41 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Jaga Jarak

Anya mulai menarik garis. Tidak lagi membiarkan percakapan mereka menyentuh hal-hal pribadi. Jika Raka bertanya, ia menjawab singkat. Jika Raka mendekat, ia mencari alasan untuk pergi. Ia berharap, dengan menjaga jarak, semuanya akan kembali seperti semula---hanya rekan kerja, tidak lebih.

Tapi Raka tidak bodoh. Ia menyadari perubahan itu.

"Kenapa kamu berubah?" tanyanya suatu siang, ketika mereka kebetulan bertemu di pantry.

Anya tersenyum kecil, pura-pura tak mengerti. "Berubah gimana?"

"Kamu mulai menjauh. Kamu sengaja menghindar."

Anya menghela napas. "Kita cuma teman kerja, Rak. Aku nggak mau ada salah paham."

"Salah paham?" Raka mendekat selangkah. "Aku cuma peduli. Salah kalau aku peduli?"

Nada suaranya membuat Anya merinding. Ia melangkah mundur, mencoba tetap tenang.

"Bukan begitu... Aku cuma butuh ruang."

"Ruang?" Raka tertawa kecil, tapi tidak terdengar seperti lelucon. "Jadi sekarang aku ini gangguan buat kamu?"

"Raka, aku sudah menikah," suara Anya hampir berbisik.

"Aku tahu." Tatapan Raka berubah, ada kemarahan yang ditahan di sana. "Tapi itu nggak berarti aku nggak boleh peduli, kan?"

Anya merasa perutnya mengerut. Ini bukan lagi sekadar perhatian. Ada sesuatu yang lebih dalam---sesuatu yang membuatnya takut.

Hari-hari berikutnya, Raka semakin berubah. Ia tidak lagi sekadar bertanya. Ia mulai memperhatikan siapa yang berbicara dengan Anya. Jika ada rekan kerja pria mendekati meja Anya, ia akan menatap mereka tajam. Jika Anya pulang lebih awal, Raka akan mencari alasan untuk bertanya kenapa. Jika Anya tak membalas pesannya dengan cepat, ia akan menegur dengan nada terselubung.

Dan puncaknya, suatu sore, ketika Anya hendak meninggalkan kantor, Raka menahannya di dekat pintu.

"Jangan pulang dulu," katanya lirih. "Aku perlu bicara."

Anya menelan ludah. "Raka, tolong... Jangan begini."

Raka mengepalkan tangan. "Jangan apa? Jangan peduli? Jangan ada buat kamu? Anya, aku cuma---"

"Kumohon," Anya memotong. Matanya mulai memanas. "Aku nggak bisa..."

Raka terdiam. Tatapannya tajam, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Lalu, ia melangkah mundur, membiarkan Anya pergi.

Tapi sebelum Anya benar-benar keluar, ia mendengar bisikan lirih dari Raka---suara yang hampir tak terdengar, tapi cukup membuat jantungnya berdegup kencang.

"Kamu nggak bisa lari dari ini, Anya."

Dan saat pintu lift tertutup, Anya tahu, ini belum selesai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun