Dalam hiruk-pikuk kehidupan, sering kali kita mengejar sesuatu yang kita anggap penting---karier, ambisi, atau sekadar memenuhi tuntutan hidup. Namun, di balik itu semua, ada waktu yang perlahan kita tukarkan dengan hal yang tak pernah bisa kembali: kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai.
Puisi ini bukan sekadar kisah seorang ayah yang sibuk, tetapi juga cermin bagi banyak dari kita yang tanpa sadar membiarkan waktu berlalu, hingga yang tersisa hanyalah penyesalan. Karena pada akhirnya, hadiah termahal bagi anak bukanlah mainan atau uang, melainkan kehadiran.
Inilah kisah seorang ayah yang selalu pulang terlambat.
Ayah Yang Pulang Terlambat
Di meja makan, sisa makan malam membisu
piring kosong bercakap dengan lampu yang temaram.
Sepasang mata kecil telah menyerah pada kantuk,
menanti pulang yang terlalu lama.
Di depan pintu, langkah kaki berhenti,
lelah yang dipikul lebih berat dari tas kerja.
Ia ingin mengetuk, ingin membangunkan,
tapi ia tahu esok pun cerita ini berulang.
Malam memeluknya dalam diam,
membiarkan rindunya tak bersuara.
Ia hanya ayah yang pulang terlambat,
dan doa anaknya yang tak pernah absen.
Di sudut kamar, selimut tersingkap,
sepasang kaki kecil meringkuk sendiri.
Ia bermimpi tentang seorang pahlawan,
yang pulang sebelum malam terlalu sunyi.
Di ruang tamu, lelaki itu termenung,
menatap kalender yang kian usang.
Tahun berganti, anaknya tumbuh,
tapi kenangannya tertinggal di jalanan sibuk.
"Ayah, besok datang ke pentasku ya?"
Pesan singkat itu masuk pelan,
namun dunia terus berputar cepat,
menelan janji yang kembali terlupa.