“Sudahlah, jangan ngomong ke mana-mana. Bayimu akan lahir dan kita harus mempersiapkan kelahirannya. Sana, ganti pakaianmu!” Kata-kataku yang memaksa membuat Rasti tidak berani membantah. Dia segera menuju kamarnya. Tidak menunggu terlalu lama dia sudah kembali dengan penampilan yang siap untuk bepergian.
***
Sudah lebih dari seminggu sejak aku dan Rasti belanja bersama. Sejak saat itu aku mulai lebih memperhatikannya. Aku mulai diliputi kecemasan. Bagiku Rasti masih terlalu muda untuk menjalani proses melahirkan. Dia baru enam belas tahun.
“Rasti sudah hampir melahirkan, Mas. Kata dokter tinggal menunggu hari.”
“Kamu urus sajalah.... Berapa pun biaya rumah sakitnya, kamu tidak usah khawatir. Sudah kami siapkan.”
Jawaban ringan Mas Yanto telah membuat darahku tiba-tiba memanas. Sesederhana itukah masalah ini baginya? Aku yang setiap hari melihat bagaimana anak kecil itu harus menanggung beban dalam perutnya. Berjalan dengan napas terengah dengan tangan yang menopang bagian belakang pinggangnya yang mungkin terasa nyeri. Sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bukan istriku.
Aku juga yakin dia pasti diliputi rasa takut. Melahirkan itu perjuangan antara hidup dan mati, itu yang aku pernah dengar dari Ibu. Sekarang orang yang menyebabkan dia hamil hanya berhitung tentang uang. Gila! Ini benar-benar gila!
“Mas, ini sudah bukan lagi soal uang. Ini soal Rasti. Dia akan melahirkan, dan Mas tau usianya baru enam belas tahun!” Suaraku kini meninggi. Hal yang tak pernah kulakukan selama ini kepada Mas Yanto.
“Yad, jadi menurutmu, Mas harus bagaimana? Menikahinya? Itu tidak mungkin, kan?”
Ya, Mas Yanto memang tidak bisa menikahinya, kecuali ibunya Rasti memilih untuk mengalah, dan membiarkan Mas Yanto menikahi Rasti, anaknya dan bercerai dengannya.
“Yad, kalau Mas menikahi Rasti, berarti Mas harus bercerai dengan mamanya. Kamu tau akibatnya bagi kita? Akan semakin banyak orang yang menjadi korban. Mas tidak lagi bisa membantu adik-adik untuk kuliah.”