"Mati martir." pikirku.
Supir taksi yang membawa kami ke gereja sepanjang jalan terdengar mengucapkan kata-kata yang lucu, dan bisa membuat kami sedikit tersenyum. Entahlah dia tahu apa yang terjadi pada kami yang akan Natalan saat itu, atau tidak. Saya tidak tahu.
Sambil bercanda Ia mengatakan kepada kami kalau penumpangnya saat itu cantik-cantik seperti bintang film telenovela yang sedang hits saat itu.
Saya diam dan melirik adikku, adikku juga diam sambil melirik ke arahku.
Saya tahu dia mau tertawa kecil karena merasa geli dengan perkataan Pak Supir, tapi saya merasa tidak nyaman untuk tertawa mengingat ancaman pembakaran gereja malam itu.
Saya yakin, Pak Supirnya tidak tahu kalau ada ancaman pembakaran gereja malam itu di hampir semua gereja di kota ini.
Sesampai di gereja, kami semua diajak beribadah di gedung serbaguna, sambil lesehan (duduk di lantai). Bukan di gedung gereja seperti biasa.
Banyak juga yang datang ternyata, ruang serbaguna itu penuh ke kiri dan ke kanan, sedang saya dan adik duduk di tengah, di hadapan Pendeta.
Sepatu kami buka, dan kami duduk di atas alas yang disediakan.
Saya duduk berdampingan dengan adik. Saya di kanan, adik di kiri, dekat ke pintu.
Sepanjang ibadah, tidak lupa saya lirik adik saya yang terlihat tekun mengikuti jalannya ibadah. Sengaja saya biarkan dia duduk lebih dekat ke pintu, supaya gampang keluar duluan kalau terjadi hal yang tidak diinginkan.