Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Horor

Arsip Terakhir

26 Juni 2025   06:49 Diperbarui: 26 Juni 2025   18:22 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover: Arsip Terakhir & Sumber: Chatgpt

Di sana, di halaman terakhir, hanya ada satu paragraf. Kalimat-kalimatnya merinci detik-detik terakhir hidupnya dengan presisi seorang koroner. Bagaimana jantungnya akan melemah, bagaimana pandangannya akan mengabur. Dan di akhir paragraf itu, ada satu kalimat yang belum selesai, sedang diketik huruf demi huruf oleh kekuatan tak kasat mata itu.

Satu-satunya cara agar dokumen ini berhenti menulis tentangnya adalah dengan
Huruf-huruf berikutnya muncul satu per satu, lambat dan pasti.

... b-e-r-h-e-n-t-i ... b-e-r-n-a-p-a-s.


Sebuah jeda. Mesin ketik itu seolah menunggu.
Ibu Retno menatap kalimat itu. Jadi, inilah akhirnya. Kematiannya pun sudah dijadwalkan, didiktekan. Ia akan mati sesuai naskah. Seluruh hidupnya, dua puluh lima tahun pengabdian pada keteraturan, berakhir sebagai sebuah spesimen dalam arsip supranatural ini.

Tapi kemudian, di tengah keputusasaan itu, secercah percikan dari api lamanya menyala. Api dari seorang arsiparis yang perfeksionis. Api dari seorang perempuan yang mendedikasikan hidupnya pada kontrol dan ketepatan. Jika hidupnya adalah sebuah dokumen, dan kematiannya adalah kalimat terakhir, maka ia tidak akan membiarkan orang lain atau sesuatu yang lain menyelesaikannya.

Ini adalah arsipnya. Ini adalah catatannya. Dan arsiparis sejati memiliki kontrol penuh atas dokumennya.

Ia tidak akan membiarkan kalimat itu selesai ditulis.

Ia menatap kosong ke dalam kegelapan gudang, ke sumber suara ketukan yang telah menyiksanya. Ia menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara apek berbau kertas lapuk untuk terakhir kalinya.
Lalu, dengan seluruh sisa kehendaknya, Ibu Retno Wulandari berhenti bernapas.
Ia menahannya. Satu detik. Lima detik. Jantungnya berteriak di dalam dadanya. Tik... tak... tik... Suara mesin ketik itu mulai ragu-ragu. Sepuluh detik. Paru-parunya terbakar. Pembuluh darah di matanya terasa seperti akan pecah. Tik... tak... Suara itu melambat, seperti juru ketik yang kebingungan karena subjeknya berhenti bergerak.

Ia memejamkan mata, memfokuskan seluruh eksistensinya pada satu tindakan penolakan ini. Bukan sebuah tindakan mengakhiri hidup karena putus asa. Ini adalah tindakan redaksi terakhir. Sebuah koreksi. Ia merebut kembali hak untuk menulis titik di akhir kalimatnya sendiri.
Dua puluh detik. Kegelapan mulai merayap di tepi pandangannya.
Tik...
Suara terakhir itu menggantung di udara, lalu lenyap.

Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, gudang arsip di Sendang Kalbu menjadi sunyi senyap. Keheningan yang absolut, tebal seperti lumpur, dan final.
Di atas meja, di bawah cahaya bulan yang menerobos masuk dari jendela pecah, tergeletak map biru itu. Di halaman terakhir, kalimat itu tergantung, tidak selesai.

Satu-satunya cara agar dokumen ini berhenti menulis tentangnya adalah dengan berhenti bernapas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun