Tik... tak... tik...
Keesokan paginya, ia bertanya pada Pak Wito sambil lalu, berusaha agar tidak terdengar seperti perempuan kota yang penakut. "Pak, semalam saya seperti mendengar suara mesin ketik dari gudang."
Pak Wito yang sedang menyapu daun-daun kering hanya berhenti sejenak, meludahkan sepah merahnya ke tanah, lalu mengangkat bahu. "Oh, itu. Sudah biasa, Bu. Gedung ini memang suka begitu kalau malam. Katanya, sedang menulis ceritanya sendiri." Ia melanjutkan menyapu, seolah baru saja membicarakan cuaca.
Bagi Pak Wito, itu mungkin hal biasa. Tapi bagi Ibu Retno, itu adalah anomali yang mengganggu keteraturan alam semestanya. Setiap malam, suara itu kembali, menjadi lagu pengantar tidurnya yang ganjil. Sebuah mesin ketik hantu di sebuah gudang yang terlupakan.
 Ia mencoba mengabaikannya, menenggelamkan diri dalam pekerjaannya di siang hari. Ia membuka satu per satu bundel arsip, meniup debu empat dekade, dan membaca tulisan tangan yang mulai pudar. Kisah-kisah kecil dari kehidupan yang telah lama lewat. Seorang bayi lahir, seorang kakek meninggal, sebidang tanah berpindah tangan. Semuanya begitu biasa, begitu fana.
Hingga pada suatu sore yang mendung, seminggu setelah kedatangannya, ia merasa ditarik oleh sebuah dorongan aneh ke sebuah rak di sudut paling gelap dan paling lembap. Di sana, sebuah map tebal berwarna biru kusam terselip di antara tumpukan dokumen agraria. Berbeda dari yang lain, map ini tidak diikat tali rapia. Seolah sengaja disembunyikan.
Tangannya yang terbiasa rapi meraih map itu. Debunya terasa berbeda, lebih dingin. Di sampulnya, tertulis sebuah nama dengan mesin ketik yang tintanya tampak aneh, tidak sepenuhnya kering dan tidak juga basah: Retno Wulandari.
Darahnya seolah surut ke perut. Ini pasti kesalahan. Mungkin ada nama yang sama. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membukanya.
Lembar pertama adalah salinan surat mutasinya, kata per kata, titik dan koma, sama persis. Namun, tanggal yang tertera di sudut bawah dokumen itu adalah enam bulan sebelum ia menerima surat aslinya. Jantungnya berdetak begitu kencang, seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Ia terus membalik lembaran.
Di sana tertulis, dalam format laporan yang dingin dan birokratis:
Perihal: Laporan Aktivitas Subjek
Nama: Retno Wulandari
Tanggal: [Tanggal kedatangannya di Sendang Kalbu]
Pukul 08:15: Subjek tiba di Terminal Sendang Kalbu. Mengenakan blus batik berwarna cokelat dan rok hitam.
Pukul 09:00: Subjek bertemu dengan penjaga gudang, Wito. Terjadi percakapan singkat mengenai kondisi gudang.
Pukul 24:13: Subjek terbangun oleh suara anomali dari dalam gudang. Melakukan inspeksi tanpa hasil.
Semuanya tercatat. Setiap detail kecil dari hari-harinya di tempat terkutuk itu. Apa yang ia kenakan, apa yang ia makan untuk sarapan, bahkan percakapannya dengan Pak Wito. Arsip itu tidak hanya mencatat masa lalu; arsip itu mencatat masa kini yang baru saja ia lewati. Setiap malam, suara mesin ketik itu bukan sekadar suara; itu adalah proses pencatatan hidupnya secara real-time.
Kengerian yang dingin merayap di punggungnya. Ia berlari keluar gudang, terengah-engah di bawah langit kelabu. Siapa yang melakukan ini? Bagaimana bisa? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya seperti sekawanan kelelawar gila.
Untuk menguji kewarasannya, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak terduga.