Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Geriatric Millennial

Penulis komunitas. Gig worker. Juru ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Genting

7 Oktober 2025   13:29 Diperbarui: 7 Oktober 2025   13:29 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah pribadi menggunakan Canva

Bowo merasakan kepalanya panas kena sengat sinar matahari dan wajahnya berpeluh. Letak Purworejo yang ada di pesisir pantai selatan menjadikan cuacanya lebih panas dibanding Magelang yang dikelilingi gunung, tempat tinggal Bowo.

"Dinten meniko bentar sanget raoisipun nggih, Lik. Rantos kulo raose gobyos-gobyos," ujar Bowo sambil menyeka keningnya dengan punggung tangan.

Lik Narti mengiyakan bahwa belakangan ini udara memang terasa sangat panas. Dia bercerita bahwa semalam sebelum wafat, Paklik Ibin mengeluh kepanasan, tapi tengkuk dan dadanya terasa dingin. Dipasangkan kipas angin kuatir demam, akhirnya jendela dibuka supaya Paklik Ibin merasa lebih sejuk.

Selepas Isya rumah Lik Narti kedatangan tamu yang diundang bertahlil. Lik Narti memintanya menginap maka Bowo ikut membantu para sinom membagikan piring-piring berisi nasi dan lauk serta teh panas ke para tamu.

Bowo merasakan ada nampan yang sangat ringan dan ada yang berat, padahal isinya sama. Tiap kali membawa nampan yang berat peluhnya langsung membanjiri kening dan punggungnya.

Disekanya berkali-kali dengan sapu tangan peluh di kening dan pelipisnya, tapi tak jua kering. Malahan punggungnya sekarang terasa basah seperti tertempeli embun subuh yang dingin dan lembab. Makin lama punggungnya terasa dingin terembus angin malam bercampur keringat.

Mungkin masuk angin, gumam Bowo merasakan rasa tidak enak di tubuhnya antara panas dan dingin yang silih berganti menerpa.

Shhyuuuuussss... Para tamu dikejutkan oleh angin yang berembus kencang. Tratak yang menaungi pelayat tadi siang bergemeretak kencang, membuat selusin orang di bawahnya menyingkir, kuatir tertimpa andai rubuh.

Wuusssshhh! Angin berembus makin kencang membuat ranting pohon lengkeng di samping rumah bergoyang dan menggemerisikkan suara gesekan daun. Hujan pun turun dan jadi lebat hanya dalam beberapa detik. Pak Kaum yang memimpin tahlil menghentikan doanya untuk memberi kesempatan masuk orang di luar.

Angin terus bergemuruh kencang menyertai hujan, menyebabkan beberapa genting rumah Lik Narti melorot dan menyebabkan bocor di ruang tamu tempat tahlilan berlangsung.

"Heh! Ojo podo peplayon bali kana akeh angin ndrawasi!" dari dapur Bowo menegur tiga anak kecil yang berlarian depan rumah di bawah tratak.

"Ada apa, Mas?" tanya Kia, anak sulung Lik Narti yang heran melihat sepupunya bicara dengan nada tinggi.

"Itu anak-anak lari-larian lagi hujan angin malam-malam gini, bahaya," jawab Bowo sambil mengenyahkan rasa jengkel bercampur kasihan pada anak-anak tadi.

"Anak-anak?!" Kia ingin bertanya lebih lanjut, tapi keburu dipanggil ibunya untuk mengambil baskom besar. Seorang sinom lalu menyongsong baskom itu dari tangan Kia dan membawanya ke ruang tamu untuk menampung air yang bocor dari langit-langit.

Pukul sepuluh hujan dan angin reda. Alih-alih menimbulkan hawa sejuk, udara malah terasa panas seperti tadi siang. Kini rumah Lik Narti sudah kosong ditinggal para tamu dan kerabat yang pulang. "Bowo, iki kipas angin nggo kowe turu ben ra kepanasan, soale hawane puanas," Lik Narti menaruh kipas angin berkaki ke sudut kamar yang ditempati Bowo. Dia juga menyerahkan dua potong kaus dan satu celana milik mendiang suaminya untuk Bowo ganti baju.

Tiga anak Lik Narti masih membereskan perabot sisa masak dan menaruh tumpukan piring dan gelas ke tempat cucian ketika Bowo merasa kantuk yang berat menggelayuti matanya. Lelap pun jatuh.

Krekk. Kipas angin di kamar Bowo berhenti berputar karena listrik padam. Gelap, hanya ada semburat dari sinar rembulan yang masuk lewat celah jendela. Suara gamelan sayup-sayup terdengar di kejauhan dengan suara saron yang mendominasi. Makin lama pukulan saron terdengar makin keras, mengusik telinga Bowo dan memaksanya bangun dari tidur lelapnya.

Bowo menutup telinganya dengan bantal untuk mencegah suara gamelan mengganggu tidurnya, tapi kepalanya malah serasa berat seperti ditimpa batu. Dilepasnya bantal itu dari telinga dan Bowo berguling ke kanan, mencari posisi ternyaman untuk kembali tidur. Namun, untuk sesaat terasa tubuhnya jadi ringan.... makin ringan.... tambah ringan.

Bowo memaksa diri membuka matanya yang mengantuk berat. Kaget bukan kepalang karena dirinya ternyata melayang di atas tempat tidur!

Lalu, siapa itu yang terbaring di tempat tidurnya? Tangan memeluk bantal, wajah tenang tidur nyenyak, dengkuran halus, dan rambut ikal. Itu dirinya! Bowo bingung sekaligus takut setengah mati. Apa yang terjadi?! Dari sudut kamar pandangannya menangkap bayangan putih seperti siluet tubuh besar tanpa gerak dan sedang menatap ke arah tempat tidur. 

Tiba-tiba bayangan putih itu melempari tubuh di tempat tidur dengan genting. "Jangaaannn!" Bowo berteriak keras, tapi suaranya tidak keluar. Dicobanya untuk berteriak lagi, tapi tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya.

Sosok putih itu terus melempari genting ke tempat tidur, sosok yang sedang berbaring itu masih tidak bergerak. Posisinya sama, sedang tidur pulas, tapi tercium bau darah segar yang mengalir dari kepalanya. Darah juga keluar dari bagian tubuh yang kena lemparan genting. Makin lama makin banyak. 

Bowo makin takut dan panik karena tubuh di tempat tidur itu makin berkubang dalam darah. Bowo berteriak dan terus berteriak sambil melayang. Dia berteriak lagi dan berteriak sampai tenggorokannya terasa panas. Bowo terpejam karena lelah dan merasakan tubuhnya terkulai jatuh.

Bowo terhempas ke kasur dengan napas tersengal, keringat membanjiri tubuhnya, dadanya berat, dan dengan indra penglihatannya dia berusaha mencari kesadaran. 

Terdengar olehnya suara kipas angin yang memutar pelan, kokokan ayam jantan, dan suara pompa air. Beberapa saat kemudian azan Subuh berkumandang. Bowo mengusap wajah dengan kedua tangannya sembari mengingat apakah kejadian tadi mimpi atau nyata. 

"Dilempari genting? Sepertinya kowe mimpi, Wo, tapi soal genting, memang ada genting yang pecah, semalam bikin bocor. Likmu pengin menggantinya, tapi keburu sakit terus meninggal," ujar Lik Narti sesaat setelah Bowo menceritakan mimpinya semalam.

Matahari makin tinggi. Bowo mandi, sarapan, lalu pergi ke toko bangunan membeli beberapa potong genting untuk mengganti genting rumah Lik Narti yang rusak.

Saat Bowo memegang genting, terlihat satu di antaranya terasa dingin dan lembab. Seperti baru direndam air. Dia memperhatikan genting itu yang ternyata ada retakan halus di bagian bawah, seperti bekas tekanan... atau jejak. Itu bukan jejak, melainkan noda darah. Rasa kaget membuat Bowo menjatuhkan genting itu. Diucapkannya istigfar. Butuh waktu bagi Bowo menyadari bahwa semua genting yang dibelinya kini bernoda dan meneteskan darah segar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun