Pada hari Ahad sore kemarin, selembar surat elektronik dari sekolah masuk ke nomor Whatsapp saya. Isinya singkat namun padat, mengumumkan bahwa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) akan diberlakukan selama tiga hari, dari tanggal 1 hingga 3 September.Â
Alasannya jelas yakni antisipasi keamanan dan kenyamanan di tengah indikasi demonstrasi lanjutan di kota Bandung. Saya segera memberitahu ketiga anak saya tentang kabar itu.Â
Reaksi anak sulung dan tengah saya standar, sedikit kecewa namun tetap patuh. Namun, anak bungsu saya yang duduk di kelas tujuh SMP, malah memberikan pertanyaan yang sungguh di luar dugaan.
"Yah, kok PJJ cuma pas lagi genting gini sih?" tanyanya dengan nada polos. "Dulu pas COVID, PJJ juga karena lagi genting. Sekarang pas banyak demo, PJJ juga. Kenapa sih, PJJ itu cuma buat pas ada masalah doang?"Â
Pertanyaan sederhana itu sontak membuat saya terdiam. Di tengah hiruk pikuk persiapan PJJ yang mendadak, pertanyaan anak saya seakan menohok esensi dari sistem pendidikan yang sedang kita jalani.Â
Mengapa PJJ selalu diidentikkan dengan situasi sulit, darurat, atau krisis? Mengapa kita tidak pernah mempertimbangkan PJJ sebagai opsi fleksibel saat situasi normal, saat waktu luang, atau saat anak-anak ingin belajar dengan cara yang berbeda?
Pertanyaan itu membuka ruang refleksi yang lebih luas. Anak-anak melihat PJJ bukan sebagai sebuah metode belajar, melainkan sebagai sebuah "solusi darurat."Â
Ketika mereka melihat PJJ, yang terbayang adalah ketidaknyamanan, keterbatasan interaksi, dan suasana yang tegang karena dipicu oleh situasi yang tidak kondusif di luar sana.Â
Mereka tidak melihat PJJ sebagai sebuah kesempatan untuk mengeksplorasi cara belajar yang baru, apalagi memanfaatkannya di waktu-waktu luang mereka.Â
Logika polos itu, meski sederhana, mengandung kritik tajam terhadap sistem pendidikan yang kita bangun.
PJJ: Antara Solusi Darurat dan Potensi yang Terabaikan