Di sisi produksi, swasembada pangan mulai tampak nyata. Produksi beras nasional dipatok 32.000.000 ton pada 2025, sementara kebutuhan nasional diperkirakan 31.000.000 ton.
Surplus ini digunakan sebagai cadangan strategis. Target swasembada yang awalnya direncanakan 2029 dipercepat menjadi 2028.
Semua dilakukan sesuai arahan presiden, dengan perhitungan teknokratik: luas tanam 11.500.000 hektare, produktivitas rata-rata 6,2 ton per hektare, tren konsumsi 125 kg per kapita per tahun,
Sementara risiko gagal panen. Semua angka menempel pada setiap keputusan, sehingga kebijakan tidak berjalan setengah hati.
Zulhas juga menyelesaikan sisa impor 850.000 ton beras pada akhir 2024. Jika salah kelola, angka itu bisa membuat stok berlebihan atau harga jatuh.
Di tangannya, angka ini menjadi stabilisator pasar. Strateginya jelas: cepat, tepat, dan terkoordinasi.
Respons cepat semacam ini mencontoh teori crisis management, di mana kebijakan efektif terlihat saat krisis diatasi tanpa menimbulkan kerusakan baru.
Prestasi Zulhas tidak hanya soal data dan produksi. Pengakuan publik juga ada. Survei Indonesia Political Opinion pada Mei 2025 menempatkannya sebagai Menko Pangan terbaik dengan skor 11,3 persen.
Penghargaan Bintang Republik Indonesia Utama dari Presiden Prabowo menegaskan keberhasilan koordinasi, eksekusi teknokratik, dan kepatuhan terhadap arahan presiden.
Dalam teori policy feedback, penghargaan ini memperkuat legitimasi kebijakan dan kapasitas kementerian untuk melanjutkan program secara lebih luas.
Secara keseluruhan, Zulhas menunjukkan bahwa kebijakan publik bukan sekadar aturan di atas meja. Ini soal implementasi, koordinasi, partisipasi, dan respons cepat terhadap kondisi nyata.