Atau harus ikuti skema pasar karbon yang belum sepenuhnya adil. Dalam bahasa IMF: "kami bantu, tapi kalian reformasi." Dalam bahasa petani: "kami lapar, tapi kalian debat harga pupuk."
Menurut Standing Committee on Finance UNFCCC, kebutuhan pendanaan iklim negara berkembang akan melonjak menjadi USD 1 triliun per tahun mulai 2030.
Bandingkan dengan janji USD 100 miliar yang belum lunas. Ini seperti kita dijanjikan sepiring nasi, tapi yang datang hanya sendok, dan itupun pinjaman.
Tapi, jika kita hanya menunggu dunia adil, kita bisa mati sebelum hujan tiba. Zulhas bicara tentang jalan dalam negeri. Tentang peran Presiden Prabowo Subianto yang mendorong transisi sebagai bagian dari misi besar kedaulatan.
Di bawah narasi ini, pangan yang berdaulat dan energi yang bersih bukan soal gaya hidup, tetapi soal hidup itu sendiri.
Indonesia sudah menyusun peta jalan menuju ekonomi hijau. Menurut Kemenko Marves, transisi ini dapat menciptakan 3,7 juta lapangan kerja baru hingga 2045. Dari pekerjaan yang dulu menebang, menjadi pekerjaan yang menanam.
Dari yang dulu menggali batu bara, menjadi yang merakit panel surya. Ini adalah transformasi sosial, bukan sekadar transformasi teknis.
Masalahnya adalah: bagaimana membuat transformasi ini terasa di pasar, bukan hanya di pidato? Harga listrik dari EBT masih mahal.
Infrastruktur transmisi belum siap. Subsidi masih mengalir ke energi fosil. Dalam banyak hal, kita sedang melangkah sambil belajar. Tapi setidaknya kita melangkah.
Pidato Zulhas ditutup tanpa retorika besar. Ia hanya menyebut bahwa KOP30 di Baku, Azerbaijan, harus menjadi forum solusi, bukan panggung pengakuan. Harus menjadi pusat kolaborasi nyata, bukan tempat donor membuka stan untuk jual janji.
Ada kesan Zulhas lebih mirip juru bicara bagi negara berkembang daripada sekadar Menko Pangan. Ia bicara bukan hanya tentang Indonesia, tapi tentang ketimpangan global dalam iklim, pangan, dan energi.