Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan yang akrab disapa Zulhas, berdiri di panggung FPCI (Foreign Policy Community of Indonesia) Net Zero Summit, Jakarta, 29 Juli 2025, dengan nada suara yang tak lagi sepenuhnya politis.
Ada sesuatu yang lebih personal kali ini mungkin karena yang ia bicarakan bukan sekadar soal beras dan pupuk, tetapi masa depan, yang kata orang-orang, terlalu mahal untuk dibiarkan pada politisi saja.
Ia tak menyebut angka di awal. Tapi narasinya segera menukik: "Negara berkembang tak adil jika terus membayar mahal atas dosa karbon negara maju." Kalimat itu menggantung di udara, seperti angka-angka utang yang belum dilunasi oleh janji iklim dunia.
Sebagian besar hadirin mengangguk. Yang diplomat, yang pebisnis, yang aktivis, bahkan yang skeptis.
Zulhas membuka catatan sejarah: sejak revolusi industri, negara-negara maju telah menyumbang 62 persen emisi karbon global. Negara berkembang? Hanya 38 persen.
Tapi justru mereka yang hari ini menanggung biaya paling mahal dari krisis iklim gagal panen, kekeringan, banjir bandang, konflik agraria, dan harga pangan yang menggila.
Seolah kata "maju" dalam ekonomi global disponsori oleh utang karbon yang jatuh tempo, tapi belum ada cicilannya.
Saya membayangkan El Nino sebagai ekor naga yang panas dan panjang. Ia menyapu 8.000 desa di Indonesia pada 2023, membuat petani menatap langit seperti menatap pasar yang tak kunjung memberi harga bagus.
Kekeringan membuat irigasi lumpuh, gagal panen di mana-mana. Tapi angka tak berbohong: Indonesia bertahan. Bahkan pada musim panen raya Maret-April 2025, surplus beras mencapai 2,4 juta ton. Ini bukan keajaiban. Ini kerja keras yang jarang masuk headline.
Net Zero, bagi Zulhas, bukan jargon. Ia menyebutnya sebagai "soal masa depan petani, pelayan, kelompok rentan, dan generasi mendatang." Ia tidak menyebut ekonom, mungkin karena ekonom punya cadangan literatur saat panik. Tapi petani tidak.