Dua hari lalu, di beranda TikTok saya, FYP-nya lain daripada yang lain. Bukan bocah SMA berjoget. Bukan juga voice-over yang mengaku mantan peretas NASA.
Tapi Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat yang baru saja dilantik, sedang berdebat dengan warga Jabar. Alot.
Lawan bicaranya bukan ilmuwan, bukan pula wartawan, apalagi profesor hukum lingkungan. Tapi orang biasa.
Mukanya tak terlalu jelas karena kamera goyang, suaranya pelan tapi mantap. KDM bertanya, dengan intonasi tinggi, "Apa kontribusi anda pada daerah, hingga Anda seenak udel memanfaatkan lingkungan sekitar?"
Jawabannya: "Saya bayar pajak, Pak. Usaha saya juga bayar pajak." Itu saja.
Tapi jawaban itu seperti gol menit 90 dari pemain tanpa nama yang tiba-tiba menyepak bola ke gawang sang gubernur.
KDM terlihat kikuk. Ada jeda. Sorot matanya ragu. Argumennya melompat-lompat. Penonton tahu: si akang menang debat.
Padahal ini bukan debat resmi. Mungkin hanya konten. Tapi justru itu masalahnya. KDM tampak terlalu ringan untuk ukuran gubernur baru. Kalau pun gimmick, tak lucu. Kalau pun serius, ia kalah.
Tak seharusnya seorang gubernur bertanya "berapa kamu bayar pajak?" Itu bukan pertanyaan cerdas. Juga tidak adil. Pajak itu bukan soal angka, tapi soal kepatuhan.
Soal integritas hubungan warga dan negara. James dan Alley (2002) dalam bukunya Tax Compliance, Self-Assessment and Tax Administration, menulis: