Ada 40 korban jiwa untuk sementara di Adonara NTT. Nyawa yang hilang dan belum terdata dengan baik juga diperkirakan banyak.
Rumah, sawah, ladang dan aneka infrastruktur ekonomi warga disapu rata oleh badai dan banjir. Baik di daratan Timor, Flores dan Alor. Siapa yang ingin begini? Tiada satupun. Itulah musibah (al-baliyah).
Tempo kala banjir di Jakarta awal 2021, orang saling membenarkan dan menyalahkan. Kanal-kanal mitigasi sudah dikeruk untuk memperkecil endapan.
Drainasee dalam kota sudah diperbaiki dengan anggaran miliar. Bak-bak besar penampung di daerah rawan disiagakan. Pompa dan Sumur resapan difungsikan maksimal.
Normalisasi situ dan embung. Namun begitu frekuensi hujan di atas 100 mm tiada henti, tetap banjir juga. Itulah musibah (al-baliyah). Tiada yang menginkan dan terjadi begitu saja tanpa suatu aral.
Namun ikhtiar tetaplah dilakukan. Karena pada hakikatnya, kerusakan di darat, pun di laut, tiada luput dari tingkah manusia yang acap kali songong melampaui batas. Entah secara empirik pun spiritual sama sembrononya.
***
Waktu tsunami Aceh, siapa yang kira sebelumnya? Lalu para ahli mengatakan, itu pergeseran lempengan bumi. Bergeser-geser demi mencapai titik imbang dalam medium kerak bumi di sekitar Meulaboh-Aceh.
Betapa mahalnya harga pergeseran kerak bumi itu, hingga menelan nyawa ratusan ribu rakyat Aceh. Nyawa manusia yang modar, hanyala efek peristiwa keseimbangan kosmos atau efek equilibrasi. Lalu, beratus ribu "ruh" jiwa yang melayang ada di titik keseimbangan yang mana?
Tempo bila disadari, bahwa bagian Barat Aceh adalah titik yang rentan; bersinggungan dengan lempengan samudera Hindia dan berada di garis gempa beratus atau beribu tahun sebelumnya.
Maka patutlah dibangun infrastruktur terkait early warning system yang mumpuni. Jika itu disadari lebih dini, bisa jadi, manusia yang mati di Aceh tak sampai ratusan ribu jiwa.