Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Teo-Kosmos Bencana NTT

5 April 2021   20:46 Diperbarui: 5 April 2021   21:14 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bencana banjir di Adonara NTT (foto ms/doc)

Siapa yang sangka bila frekuensi curah hujan bisa mencapai di atas 100 atau 300 mm dalam satu atau dua hari di NTT. Siapa pula yang mengira bila tinggi gelombang air laut hingga mencapai 3-4 meter dari permukaan?

Siapa pula yang kira hembusan angin di atas 62-74 km/h, atau di skala 9 dalam perhitungan Beaufort, bahwa kondisi demikian sungguh gentingnya untuk perkiraan suatu bencana/badai maut. Semua terjadi serta merta.

Tak disangka-sangka, laut meluber hingga ke kolong dipan warga. Dan menyapunya menjadi lintang pukang. Tanggul-tanggul penangkal abrasi, pun rontok dalam satu dua pukul amukan ombak besar.

Dari BMKG weather station sekalipun, tak mengira-ngira sebelumnya, hingga di-calling, bahwa masyarakat perlu mawas, semawas-mawasnya terhadap keadaan yang genting. Sehingga kala badai datang menyapu, setidaknya masyarakat sudah pasang kuda-kuda.

Lalu sapi-sapi di Malaka, bisa diarak ke dataran tinggi. Sehingga kala banjir datang, tidak ikut tersapu dan cuma menyembul kepala dipermukaan banjir bagai kelapa kering terbawa arus.

Demikian pun lumbung-lumbung hasil panen, diamankan hingga tidak ambrol diterjang banjir bandang dengan begitu liarnya. Setidaknya sudah siaga.

Pentingnya early warning system itulah, kenapa ihwal ini diurus negara dengan sungguh serius. Aparatnya digaji, aneka teknologi dan infrastruktur dibangun negara miliaran rupiah.

Tujuannya tiada lain, agar mewanti-wanti masyarakat, bila terjadi suatu gejala alam yang bisa mendatangkan petaka sudah terjaga-jaga. Terkecuali, masyarakatnya songong atau sungguh sombong.

Jika gejala, peristiwa tak terdeteksi manusia dan teknologinya, lalu terjadi secara tak terkira kala manusia kurang mawas, maka itulah bencana atau musibah.

Maka, kala musibah terjadi di luar perkiraan, yang bisa mencernanya adalah dimensi suprasional manusia. Kesadaran akan hakikat di balik peristiwa. Lebih tinggi dari rasionalitas.

Musibah juga berarti kemalangan (al-baliyah) atau setiap kejadian yang tidak diinginkan. Muhammad Husin Tabataba'i dalam tafsirnya Al Mizan fi Tafsir al Quran menyatakan, musibah adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendaki.

Ada 40 korban jiwa untuk sementara di Adonara NTT. Nyawa yang hilang dan belum terdata dengan baik juga diperkirakan banyak.

Rumah, sawah, ladang dan aneka infrastruktur ekonomi warga disapu rata oleh badai dan banjir. Baik di daratan Timor, Flores dan Alor. Siapa yang ingin begini? Tiada satupun. Itulah musibah (al-baliyah).

Tempo kala banjir di Jakarta awal 2021, orang saling membenarkan dan menyalahkan. Kanal-kanal mitigasi sudah dikeruk untuk memperkecil endapan.

Drainasee dalam kota sudah diperbaiki dengan anggaran miliar. Bak-bak besar penampung di daerah rawan disiagakan. Pompa dan Sumur resapan difungsikan maksimal.

Normalisasi situ dan embung. Namun begitu frekuensi hujan di atas 100 mm tiada henti, tetap banjir juga. Itulah musibah (al-baliyah). Tiada yang menginkan dan terjadi begitu saja tanpa suatu aral.

Namun ikhtiar tetaplah dilakukan. Karena pada hakikatnya, kerusakan di darat, pun di laut, tiada luput dari tingkah manusia yang acap kali songong melampaui batas. Entah secara empirik pun spiritual sama sembrononya.

***

Waktu tsunami Aceh, siapa yang kira sebelumnya? Lalu para ahli mengatakan, itu pergeseran lempengan bumi. Bergeser-geser demi mencapai titik imbang dalam medium kerak bumi di sekitar Meulaboh-Aceh.

Betapa mahalnya harga pergeseran kerak bumi itu, hingga menelan nyawa ratusan ribu rakyat Aceh. Nyawa manusia yang modar, hanyala efek peristiwa keseimbangan kosmos atau efek equilibrasi. Lalu, beratus ribu "ruh" jiwa yang melayang ada di titik keseimbangan yang mana?

Tempo bila disadari, bahwa bagian Barat Aceh adalah titik yang rentan; bersinggungan dengan lempengan samudera Hindia dan berada di garis gempa beratus atau beribu tahun sebelumnya.

Maka patutlah dibangun infrastruktur terkait early warning system yang mumpuni. Jika itu disadari lebih dini, bisa jadi, manusia yang mati di Aceh tak sampai ratusan ribu jiwa.

Ujung-ujungnya, tetaplah manusia yang kecolongan pada hakikatnya. Tapi itulah musibah (al-baliyah). Siapa yang ingin? Tiada satupun yang ingin petaka itu datang secara tak terkira. Lagi-lagi, tak tertakarkan dengan akal.

Waktu petaka banjir Wasior di Papua Barat tahun 2010, ratusan nyawa melayang. Harta benda dan infrastruktur publik juga ambyar. Usut punya usut, semua gegara hilangnya wilayah serapan akibat kapitalisasi hutan secara tamak. Begitupun bencana banjir di Kalimantan baru-baru.

Barrier secara alamiah untuk menangkal longsor dan banjir minim. Banjir dan longsor, turun dari atas hutan gundul, mendepak seabrek-abrek manusia secara culas dan tidak senonoh dari tempat tinggalnya. Tak cuma nyawa, harta benda juga raib. Manusialah pokok soalnya, sebagaimana terminologi Tuhan (QS : Ar-Rum : 41).

Entah minimnya mitigasi ataupun akibat kapitalisasi hutan, bencana adalah tanda (sign) atau pesan (message). Ia patut dibaca dengan kemampuan logos dan suprarasional (spiritual).

Bahwa di balik mekanisme kosmos, ada juga teo-kosmos dalam bentuk pesan dan tanda di balik peristiwa (empirik). Agar manusia mawas diri dan tak lagi songong dalam arti tamak baik secara empirik juga spiritual..

Bila alam bergeser, bersiklus mencari titik equilibrium, maka siklus kesadaran manusia pada satu titik, mestinya membuat ia menjadi sebaik-baiknya makhluk. Memberi rahmat pada sesamanya, juga pada alam sekitar.

Lebih saleh secara individu dan bernegara, lebih adil, lebih peka dan berempati dalam arti sesungguhnya. Pasca peristiwa naas ini, lahirlah harapan dan kesadaran baru tentang teo-kosmos!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun