Mohon tunggu...
Y. Airy
Y. Airy Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Hanya seseorang yang mencintai kata, Meraciknya.... Facebook ; Yalie Airy Twitter ; @itsmejustairy, Blog : duniafiksiyairy.wordpess.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Wild Sakura #Part 22 ; Aku Jatuh Cinta pada Kalian Berdua

18 Mei 2016   16:30 Diperbarui: 24 Mei 2016   06:28 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="weheartit.com"][/caption]

Sebelumnya, Wild Sakura #Part 21 ; Bumi Tidak Akan Bisa Memeluk Langit

 

"Maksudnya apa Yu?"

Rocky baru mendatangi kedai tepat saat kedai soto itu tutup, ketika ia celingukan, Ayu segera menghampirinya dan menanyainya. Lalu memberitahukan semua kejadian siang tadi.

"Seperti yang ku katakan tadi, Sonia nggak kerja lagi di sini!"

"Tunggu, kamu bilang gadis kaya itu mengaku sebagai siapa?"

"Putri tunggalnya Hardi Subrata!"

Nancy!

Jadi dia mencari tahu sejauh ini?

Rocky termangu, ia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi. Harusnya ia bisa lebih tegas membatalkan pertunangannya tempo hari, tapi saat itu keadaannya tak memihak. Dan sekarang bagaimana, Nancy bahkan sudah menemui Sonia tanpa sepengetahuannya?

Iapun langsung menuju mobilnya, langkah awal...ia ingin ke tempat kerja Erik. Tapi sepertinya Sonia tak mungkin kesana dan mengganggu pekerjaan Erik dengan masalahnya, jadi..., tentu saja ke kos. Iapun menuju ke sana.

"Papa nggak suka sikapmu terhadap Resma," hardik Remon berkacak pinggang dengan satu tangan. Dimas duduk di sofa dengan santai, "itu sudah keterlaluan!"

"Jadi..., gadis manja itu mengadu!" dengus Dimas. Remon menajamkan pandangannya terhadap putra semata wayangnya, "dengar Dimas, papa nggak masalah jika kamu bersikap seperti itu terhadap teman wanita papa. Terserah, tapi Resma..., dia gadis baik-baik. Dari keluarga terhormat, dan dia yang akan jadi istrimu!"

Dimas mendongak ke arah papanya lalu berdiri, "istri___nggak pa, aku nggak akan pernah menerima perjodohan ini. Nggak dengan Resma, nggak juga gadis lain!" tegasnya lalu berjalan ke tangga, tapi suara Remon menghentikannya,

"Lalu, kamu maunya siapa. Sonia?"

Dimas mematung di depan anak tangga, diam. Tak menyahut.

"Dia itu cuman gadis miskin, mantan napi. Dia..., nggak akan pernah menjadi keluarga Mahendra!" tegas Remon. Dimas mengepalkan tinju dengan geram. Masih diam, "camkan itu Dimas!" tambah Remon. Dimaspun melanjutkan langkahnya menuju kamar. Ia membuka pintu dengan kasar lalu membanting daun pintu itu keras setelah menembusnya ke dalam. Remon masih manatap anak tangga yang baru saja di lalui oleh putranya,

"Kalau gadis itu masih nggak mau menjauh dari kamu, biar papa yang akan menjauhkannya!" desis Remon.

* * *

"Kamu yakin nggak mau ngasih tahu om siapa yang meninggalkan bekas merah di pipimu itu?" bujuk Edwan di perjalanan menuju kos Sonia.

"Kan aku sudah bilang om, ini cuma hasil dari kesalah pahaman pelanggan saja kok!" sangkalnya.

"Hem..., terserah kamu deh!" Edwanpun menyerah. Ia sedikit celingukan setelah hampir mencapai tempat kos Sonia, seperi melihat seseorang yang ia kenal di depan kamar Sonia.

"Itu..., Rocky!" desisnya. Soniapun meluruskan pandangannya ke depan, benar saja, Rocky tengah menoleh padanya. Ke arah mobil yang sedang ia tumpangi, raut pria itu menampilkan ekspresi heran dan terkejut. Mungkin karena melihat dirinya berada di dalam mobil om Edwan.

"Om, berhenti om!" pinta Sonia.

"Berhenti?" heran Edwan.

"Berhenti om, aku mohon!" pinta Sonia sekali lagi. Edwan pun menghentikan laju mobilnya, "kita putar balik om!" pinta Sonia lagi. Edean menoleh padanya dengan tatapan heran yang berlipat ganda.

"Putar balik?"

"Putar balik sekarang om, kita pergi dari sini!"

"Sonia, apapun masalahmu dengan Rocky...,"

"Kalau om nggak mau, aku bisa pergi sendiri!" potong Sonia dengan nada serius dan mengancam. Edwan terdiam menatapnya, Sonia segera membuang muka hendak membuka pintu mobil.

"Ok, om putar balik!" seru Edwan. Sonia terdiam. Edwanpun segera memutar balik mobilnya, Rocky yang semula sudah cukup girang melihat Sonia kini harus menekuk wajahnya.

"Mereka mau kemana?" desis Rocky,

Sonia melihat dari kaca spion, Rocky masuk ke dalam mobil, "sepertinya Rocky akan mengejar kita om, bisakah lebih cepat?" pinta Sonia.

"Apa tidak sebaiknya kamu...,"

"Untuk saat ini aku lagi nggak mau ketemu sama dia!"

"Tapi ini sudah malam, kamu mau kemana?"

Sonia kembali melirik spion, mobil Rocky terhalang beberapa mobil lain, "kemana aja!" sahutnya singkat. Edwan terdiam, berfikir. Kenapa Sonia tak mau bertemu Rocky, bukankah penjelasan yang ia berikan siang tadi harusnya bisa membuat Sonia lebih mengerti, atau...,

Bukankah..., tadi Sonia bertanya tentang Nancy seolah ia pernah bertemu? Jangan-jangan..., Nancy sudah mendatanginya! Itu sebabnya ia mencoba menghindari Rocky?

"Ok, bagaimana kalau kamu ke tempat om saja?" tawarnya.

Sonia menolehnya seketika, menatapnya dengan aneh. Edwan membalas tatapan itu sekilas, tapi sudah mampu membaca apa yang tersirat di dalam mata indah gadis itu.

"Om nggak akan macem-macem kok, lagian...om nggak tinggal sama mas Hardi. Jadi..., nggak tinggal sama Nancy juga. Aman, ok!" jelasnya meyakinkan.

Sonia diam tak menyahut. Haruskah ia menerima tawaran itu? Om Edwan kan seorang pria matang yang masih lajang, kalau ada tetangga yang melihatnya membawa seorang gadis menginap di rumahnya pasti akan jadi pergunjingan. Atau..., bahkan dirinya bisa saja di tuduh sebagai gadis nakal yang suka kencan sama om-om?

"Om, lain kali saja deh. Ini kan sudah malam, nggak enak sama tetangga om. Mungkin kalau siang atau sore, aku juga pingin main ke rumah om!"

"Ouh..., benar juga sih. Lalu, kamu mau kemana?"

Sonia kembali diam, lalu ia ingat tempat Gio. Mungkin ia bisa ke sana saja dulu, kalau kiranya sudah aman. Ia bisa minta Gio mengantarnya pulang.

"Ke tempat temen aku aja om!"

Edwan mengangguk. Sementara Rocky kebingungan karena tak berhasil mengejar mobil Edwan. Ia celingukan mencari mobil di depannya, tapi tak melihat mobil yang ia cari.

"Kemana om Edwan membawa Sonia pergi?" desisnya. Lalu ia memungut hpnya, karena hp Sonia memang tidak aktif maka ia menghubungi hp Edwan. Memang nyambung, tapi tak di angkat. Itu membuatnya cukup kesal, cemas, mulai berfikir ngawur. Memang ketika ia memperhatikan om Edwan menatap Sonia di kedai soto waktu itu..., selayaknya sorot seorang pria kepada gadis yang di sukainya. Ia tahu betul om Edwan tak pernah menatap gadis manapun seperti itu sebelumnya. Ia kuatir pria itu juga sedang mencoba menarik perhatian Sonia.

* * *

Setelah bengkel tutup, ibu Tiwi mengajak Sonia masuk ke rumahnya. Sembari menunggu Gio selesai mandi ia ngobrol dengan wanita itu.

"Kalau nak Sonia mau menginap, juga nggak apa-apa. Biar nanti Gio tidur sama ayahnya!"

"Terima kasih bu, tapi Sonia mau pulang saja. Nggak enak, jadi merepotkan nantinya!"

"Jangan bicara seperti itu, kita kan sudah jadi keluarga. Jadi nggak perlu sungkan!"

"Nggak apa-apa bu, lagipula..., Sonia belum menghubungi Erik. Nanti dia malah cemas!"

"Kalau kamu mau di sini juga nggak apa-apa kok Son, aku bisa tidur dimana aja!" sahut Gio yang baru keluar dari kamanya, aroma sabun menyebar begitu saja. Gio ikut duduk di sisi Sonia, "nggak Yo, aku mau pulang aja!"

"Kamu lagi menghindari seseorang, ehm...si Rocky ya?" terka Gio. Sonia terdiam. Seolah meng-iyakan, "atau...kamu mau aku telepon Dimas aja?"

"Dimas, nggak Yo. Nggak perlu!" tolaknya.

"Ya udah, kalau emang mau pulang, yuk!" katanya seraya berdiri, Sonia menatap ibu Gio, "bu, Sonia pamit dulu ya. Terima kasih udah boleh singgah!"

"Ibu senang kok, kamu kesini. Lain kali jangan sungkan main, anggap rumah sendiri!"

"Terima kasih banyak bu!"

Baik Gio maupun Sonia segera keluar rumah. Oya, Gio baru ingat. Pulang sekolah tadi kan, Dimas di jemput paksa sama papanya. Padahal, rencananya ia akan menjambangi Sonia dan membiacarakan kembali percapakan waktu itu, jadi..., Dimas pastilah belum sempat bicara lagi dengan Sonia. Dan saat ini mungkin Sonia masih galau dan dilema antara Dimas dan Rocky.

Sesampainya di kos Sonia, Gio langsung pamit saja karena sepertinya Sonia butuh istirahat, terutama mengistirahatkan pikirannya, tapi ia janji jika Sonia mau cerita ia juga siap mendengarkan.

Rocky kembali mencoba menghubungi Sonia, tapi hpnya masih tidak di aktifkan. Ia masih berada di dalam mobil meski sudah di halaman rumahnya. Ia yakin, Nancy pasti sempat mengajak Sonia berbicara. Dan nampaknya Nancy mengacam Sonia sehingga gadis itu menjauhinya. Kalau sudah kepalang basah begini ya...mau bagaimana lagi. Ia tak perlu lagi terus menjadi boneka dua keluarga itu, ia bisa terus terang tentang keinginannya membatalkan pertunangannya dengan Nancy. Tak peduli bagaimana pun tanggapan kedua keluarga itu, atau amarah yang akan meledak. Ia tak peduli lagi!

Begitu ia memasuki rumah suara papanya langsung menghardiknya.

"Kenapa kamu diam, jawab!"

"Bukankah sudah ku katakan pa, aku nggak akan menikah sama Nancy!"

"Jadi benar, kamu selingkuh sama gadis mantan napi itu?"

Rocky melebarkan mata, bagaimana papanya tahu tentang latar belakang Sonia? Kenapa harus di tanya, tentu saja dari om Hardi.

"Namanya Sonia!"

"Siapapun namanya, papa nggak peduli. Tapi tetap, kamu harus ingat! Nggak ada gadis lain yang akan menjadi menantu di rumah ini kecuali Nancy!" tegas Danu.

Rocky tak menanggapi, ia tetap saja berlalu ke kamarnya.

"Anak itu!" seru Danu hendak melangkah, "pa!" cegah Alena. Ia merengkuh lengan suaminya dengan lembut, "papa jangan terlalu keras padanya, aku rasa..., nggak ada salahnya memberi sedikit keleluasaan pada Rocky!"

"Keleluasaan?"

"Papa kan tahu Nancy itu seperti apa, sangat manja. Mungkin Rocky hanya sedikit jengah, ya..., menurutku...mungkin saja gadis bernama Sonia itu hanya sebuah penghiburan bagi Rocky. Tapi kita sama-sama tahu, kalau Rocky cuma akan menikah sama Nancy, jadi apa yang perlu papa kuatirnya. Anggap saja gadis itu mainan Rocky!"

"Tapi ma, bagaimana kalau...!"

"Itu nggak akan terjadi pa!" potong Alena.

Danu termangu memikirkan perkataan istrinya yang di anggapnya gila itu, mana mungkin ada seorang ibu yang mengijinkan putranya memiliki simpanan selain gadis yang semestinya menjadi istrinya? Atau mungkin, istrinya hanya sedang berusaha menenangkan emosinya saja?

* * *

Sonia tersentak dari lamunannya ketika mendengar suara pintu di gedor, ia sedang rebahan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Iapun bangkit, siapa yang bertamu? Ia masih diam menatap pintu, atau jangan-jangan itu Ryan lagi? Mau apalagi anak itu?

Sonia langsung membuka pintu, matanya melebar mendapati sosok yang berdiri di depan kamarnya. Remon menatapnya tajam dengan sunggingan senyum penuh arti, dua orang lainnya berdiri di belakangnya. Dan kedua orang itu langsung menerobos masuk, Sonia tak sempat berteriak, kedua orang itu langsung mencengkeram kedua lengannya, sementara Remon menutupkan telapak tangannya yang kekar ke mulutnya. Membekapnya dan mendorongnya masuk ke dalam, menyandarkannya ke tembok agar tak terlihat dari luar apa yang sebenarnya terjadi.

Sonia mencoba meronta, tapi saat ini kekuatannya tak seimbang. Apalagi tadi ia sedang mulai mengantuk, ia ingin berteriak tapi hanya bunyi, "hem...hem...hemmmm!" yang keluar dari mulutnya.

"Kamu pasti terkejut, kenapa aku menemuimu?" tanya Remon lirih, "kamu cukup berani ya?" lanjutnya, "kamu tak hanya mendekati Dimas, tapi kamu juga merayu Rocky. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"

Nafas Sonia tak beraturan, kedua lengannya masih mencoba meronta. Tapi cengkraman dua orang itu justru kian kuat, membuatnya sakit.

"Kamu mau uang, aku akan kasih berapapun yang kamu mau. Tapi jauhin Dimas, karena Dimas sudah memiliki gadis yang jauh lebih sepadan dari kamu. Kalau kamu ingin kesenangan, aku bisa memberikannya sama kamu!" tawar Remon. Sonia memelototkan matanya. Berhenti meronta, nafasnya juga mulai teratur. Remon bisa merasakan itu, maka iapun dengan perlahan menjauhkan tangannya dari mulut Sonia karena ia yakin gadis itu tidak akan berteriak.

Dan memang benar, Sonia tidak berteriak selain menghujaminya dengan tatapan tajam yang menusuk. Remon menyunggingkan senyum nakal, "aku tahu kamu cantik, Sonia. Teramat cantik!" pujinya, "siapa yang tak tergoda oleh kecantikan sepertimu, tapi kamu salah menggunakannya untuk Dimas. Kalau kamu ingin menggunakan parasmu untuk menggoda pria kaya, kamu harus lebih pintar!"

"Aku bukan perempuan seperti itu!" gerutu Sonia. Remon justru kembali menyunggingkan senyum, senyum ejekan sekarang, "akui saja, setelah keluar dari penjara..., kamu butuh materi kan. Aku bisa kasih berapapun yang kamu mau, asal..., pertama, kamu jauhin Dimas. Kedua,___" Sonia bisa merasakan hal tidak baik ada di dalam otak pria itu, maka iapun menghardik lebih dulu sebelum Remon melanjutkan kalimatnya.

"Kamu pikir, aku adalah salah satu gadis yang akan tergoda oleh uangmu. Dan menjual harga diriku demi uangmu?" Sonia menggeleng, "nggak!" tegasnya membuat Remon merubah mimiknya, "kamu salah Remon Mahendra!" kini ia lebih berani dengan hanya menyebutkan namanya saja, "uangmu nggak akan bisa membeliku!"

Remon menatapnya lebih tajam, ia memang tampan meski sudah berkepala empat. Banyak gadis begitu mudah ia rayu bukan hanya karena uangnya saja, tapi karena parasnya, fisiknya, dan pesonanya. Tapi baru kali ini ada gadis miskin yang menolaknya tegas, dan itu membuatnya justru kian penasaran. Rasanya ia mulai mengerti kenapa putranya jatuh hati pada gadis ini?

Tapi ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, bagaimanapun Dimas berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dari sekedar seorang mantan napi, meski gadis itu teramat cantik dan tidak murahan.

"Kita lihat saja nanti," ia memberi isyarat agar kedua orangnya melepaskan Sonia dan keluar lebih dulu. Kini hanya ada dirinya dan Sonia di ruangan sempit itu, dan gadis itu menatapnya seperti pedang. "kamu tahu, aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Selalu!" katanya lalu beranjak. Kalimatnya seolah sebuah ancaman. Sonia tahu bagaimana prestasi pria itu terhadap para gadis muda, dan ia juga mengerti ucapannya, tiap detailnya. Sorot matanya, ia tahu pria itu menginginkan dirinya sama seperti saat menginginkan para gadis yang sudah menyerahkan diri mereka padanya. Dan pasti dia akan melakukan apapun untuk bisa mendapatkan apa yang di inginkannya.

Meski terselip rasa takut di hatinya, tapi ia tetap mencoba meneguhkan hatinya sendiri. Bahwa ia tidak akan membiarkam pria itu menang. Ia akan buktikan, bahwa tak seorangpun bisa membelinya dengan apapun. Kalau saja pria itu bukan papanya Dimas, ingin sekali tadi ia meludahi wajahnya. Dan mengetahui kenyataan bahwa pria itu adalah papanya Dimas, rasa nyeri mulai merayapi sekujur tubuhnya. Bagaimana seorang ayah dan anak bisa berbanding terbalik 360°?

Sebutir airmata meleleh di pipinya, apakah setiap gadis miskin yang dekat dengan pria kaya itu selalu di identikan dengan murahan, matre, dan semacamnya?

Erik baru sampai ketika Sonia hendak menutup pintu, melihat mata gadis itu memerah iapun segera bertanya dan menghampiri, "Sonia, kamu kenapa?" tapi Sonia tak menjawab, hanya sedikit menunduk saja.

"Tadi itu mobil siapa?"

"Bukan siapa-siapa, salah alamat. Rik, aku ngantuk!" katanya menutup pintu, "tapi Son...!" Erik tak berhasil melanjutkan kalimatnya. Ia bahkan belum sempat bertanya tentang pemecatannya dari kedai soto. Tapi ia tahu pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk terhadap gadis itu. Belakangan ia jarang sekali memperhatikan Sonia, bahkan mulai pulang agak larut karena harus mengantar Aline dulu.

* * *

Pagi itu Remon terkejut ketika membuka pintu kamar putranya, Dimas tak ada di sana. Seragam dan tas sekolahnya juga, padahal kata bibi' Dimas masih ada di kamar. Motornya juga masih di garasi. Jadi anak itu sengaja pergi pagi-pagi?

Tapi tak di pungkiri, buah itu jatuh tak jauh dari pohonnya. Sifat keras dan keteguhan Dimas memang sama seperti dirinya, bedanya..., hanya pandangan mereka tentang wanita!

Dimas sudah duduk di teras kamar Sonia, hari ini mata pelajaran pertama adalah olahraga. Jadi biarkan saja ia tak ikut, ia harus bicara dengan Sonia. Setidaknya meminta maaf karena telah menambah kegalauan hatinya, tapi ia tetap tidak akan mencabut pernyataan cintanya.

Ia segera bangkit ketika mendengar suara pintu terbuka, Sonia hendak menjemur baju yang baru saja di cucinya, ia melonjak menemukan sosok yang tiba-tiba ada di hadapannya.

"Dimas, kamu membuatku kaget!" serunya, "maaf!" sahut Dimas menggaruk tengkuknya sambil cengengesan. Sonia memperhatikan pemuda itu, "kamu bolos sekolah?" tanyanya.

"Masih jam tujuh kurang kok, masih belum bel masuk!"

"Tapi kamu akan terlambat!"

"Ya biarin aja!"

"Biarin!" sergah Sonia masih menenteng embar berisi cucian. Wajahnya berubah marah, "Di, aku tahu kamu orang kaya. Tanpa ijazahpun kamu masih bisa meneruskan perusahaan papa kamu, atau membuat usaha baru. Tapi bukan berarti kamu bisa menyepelekan pendidikan. Apa kamu tahu bagaimana rasanya putus sekolah, nggak tahu harus bagaimana mendapat pekerjaan untuk menyambung hidup, harusnya kamu bersyukur!"

"Iya-iya aku tahu, aku cuma nggak masuk mata pelajaran pertama doang kok. Soalnya olahraga, entar juga aku masuk setelahnya!"

Sonia terdiam, ia sadar harusnya ia tak semarah itu. Sonia sedikit membuang muka lalu berjalan melewatinya, menuju tiang jemuran dan mulai menjemur. Dimas mengikuti. Memperhatikannya.

"Son, soal kemarin malam...!" seru Dimas membuat Sonia memperpelan kegiatannya, "maaf ya. Aku nggak bermaksud menambah beban pikiran kamu, tapi semua yang aku ungkapin itu...benar___aku memang sayang sama kamu, bahkan aku cinta sama kamu!" ungkap Dimas. Sonia bergeming.

"Aku akan berusaha untuk membuat kamu bahagia, jadi...bisakah kamu mempertimbangkan perasaanku?"

Hening.

Keduanya masih dalam posisi semula, lalu Sonia menoleh. Menatap Dimas yang memang sedari tadi menatapnya, "bisakah kita nggak membahas ini dulu?" pintanya.

"Kenapa, apakah kamu akan tetap memilih Rocky. Meski kamu sudah tahu kalau dia sudah bertunangan?"

Sonia kembali terdiam. Menerawang ke dalam kolam mata Dimas yang tulus, menatap pemuda itu ia jadi ingat kejadian semalam. Tadinya ia ingin menerima tantangan Remon Mahendra, tapi setelah berfikir lama dalam keheningan di dalam kamar kosnya yang sempit itu, ia sadar bahwa ia datang ke kota ini bukan untuk bermusuhan dengan siapapun. Tapi ia juga tak ingin di anggap takut oleh ancaman pria itu dengan menjauhi Dimas.

"Di, kenapa kamu selalu mengaitkannya dengan Rocky. Lagipula, apa bedanya jika aku memilihmu ataupun Rocky. Toh, aku sama-sama nggak akan bisa memiliki kalian!" tukasnya, ada amarah, ada ketidakberdayaan, ada dilema yang tersirat dari nadanya, "aku..., aku...!" ia mulai terbata. Matanya memerah.

Dimas menatapnya kian dalam, seolah ia mengerti apa yang tengah di rasakan oleh gadis itu.

"Kenapa kamu bicara seperti itu, apakah itu artinya...kamu nggak hanya jatuh cinta sama Rocky?" tanya Dimas. Sonia mengangkat matanya hingga bertemu dengan mata Dimas kembali dengan berkaca-kaca, "tapi kamu juga mencintaiku?" sambungnya.

Sonia masih diam, bibirnya bergetar tapi sebutir airmata jatuh ke pipinya. Dan Dimas tahu bahwa itu benar, "Sonia!" desisnya.

Dengan bibir bergetar Sonia pun menyahut, "ya, aku jatuh cinta pada kalian berdua!" akunya. Dan buliran bening mengalir lagi.

Dimas terpaku.

 

---Bersambung.....---

©Wild Sakura ( Season 1 )

Selanjutnya, Wild Sakura #Part 23 ; Kita Tak Bisa Menawar Pada Siapa Kita Akan Jatuh Cinta | Wild Sakura #Prologue

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun