"Lada hitam dan beberapa bumbu lainnya."
        Aku ngeri sekali membayangkan aku masih harus mencoba satu menu lagi. Perutku sangat sakit. Sumpitku bergetar saat mengarahkannya ke steak itu, mencubitnya lagi, lalu mengarahkan daging sapi itu ke mulutku, baunya, aneh sekali, aku tidak bisa memakannya... tapi aku akan dapat 160000 won dengan ini semua... aku...
        "Tunggu!" aku kaget mendengar suara pria, menjatuhkan sumpitku dan dagingnya.
        Mataku terpancang pada sesosok pria yang gemuk, jauh lebih gemuk dari aku, memasuki restoran, yang jelas aku tidak mengenalnya, dan sebenarnya aku ragu yang diteriakinya tadi itu aku. Tapi keraguanku terjawab, dia duduk di kursi di seberangku, mencabut sumpit, lalu mengambil daging sapi yang masih ada di piring. Ingin rasanya meneriakinya supaya dia tidak memakannya, tapi terlambat... dia sudah mengunyahnya. Wajahnya bulat, pipinya kemerahan, rambut pendeknya malah membuatnya tambah terlihat bulat, tapi di balik semua itu, dia cukup manis. Aku melihatnya mengunyah dengan wajah sangat berkonsentrasi. Tapi rupanya bukan Cuma aku yang terpana, si bibi juga.
        "Oke, aku sudah merasakannya. Mana kertas dan penanya?"
        Aku dan si bibi sekarang saling berpandangan bingung.
        "Kenapa kalian diam saja? Ayo, bukannya aku harus menuliskan kesanku tentang makanan tadi? Cepatlah, ahjumma."
        Si bibi kaget dan segera berlari ke balik counter untuk mengambil kertas dan pena. Tapi kenapa pria ini tau prosedurnya begitu? Apa dia juga mencari uang dan makanan dengan cara ini? Berarti dia mengambil jatahku dong!
        "Hoi, kau mengambil jatahku!" teriakku marah.
        "Tidak kok."
        "Masih bilang tidak? Jelas-jelas kau memakannya tadi!"