Mohon tunggu...
May Lee
May Lee Mohon Tunggu... Guru - Just an ordinary woman who loves to write

Just an ordinary woman who loves to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

No Other, The Story [08/55]

26 Januari 2019   12:41 Diperbarui: 26 Januari 2019   13:00 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

MANSHI'S DIARY
CHAPTER 8
ME

Jobless. Sial. Hanya dua kata itu yang terus terulang di otakku pagi ini. Aku melewati restoran-restoran fast food. Ah, lapar... tapi tidak bisa. Aku membuka dompetku. Ini dia. Tinggal 80000 won. 80000 won untuk bulan ini!!! 

Kurasa mama memang berniat membunuh anak tunggalnya. Apa memang nasibku harus kembali ke Beijing? Sigh. Dunia ini kejam, terutama bagiku. Aku tidak bisa makan di restoran fast food. Lapar ini... aku tau.

Aku harus pakai cara itu lagi untuk mengatasinya. Secara otomatis kakiku melangkah ke distrik yang lebih ramai di Seoul, tapi sekaligus distrik yang agak kotor. Tak ada jalan lain, kan? Aku mendongakkan kepalaku ke bangunan agak tua di kananku. Restoran yang lumayan ramai. Aku mau lihat apa mereka masih bisa seramai ini kalau bukan karena aku. Sigh. Baiklah, aku masuk. Ah, itu dia si bibi.

                "Ahjumma, aku datang. Ada yang bisa aku kerjakan hari ini?" tanyaku dengan nada bosan tapi berharap.

                "Ah, Manshi! Sudah seminggu tidak melihatmu! Kebetulan sekali, kami hari ini punya tiga menu baru yang bisa kau coba. Kau duduk saja disana, aku bawakan," jawab si bibi dengan senyum lebar di wajahnya.

                Aku duduk di salah satu meja dekat counter, memandangi keadaan di sekitarku. Banyak sekali orangnya pagi ini, pasti mereka baru memberikan promo lagi. Tak lama kemudian, si bibi sudah datang lagi, membawa nampan besar berisi dua piring, satu mangkok dan segelas besar air. Setelah sampai di mejaku, dia meletakkan semuanya di hadapanku.

                "Seperti biasa, oke?"

                Piring pertama, kulhat, sepertinya daging ayam yang dimasak pedas; piring kedua, ada steak daging sapi yang dimasak dengan saos kimchi; dan di mangkok, ramen yang warnanya hitam, berkuah, baunya asam sekali. Aku tidak tau yang mana yang bisa membunuhku lebih cepat. Ini, bisa dibilang, adalah pekerjaan sampinganku. Dengan cara ini aku bisa dapat makan gratis. Aku sudah jadi pencicip makanan di empat sampai lima restoran di Seoul ini, tapi jujur saja, restoran ini adalah yang jenis makanannya paling membunuh, tapi berhubung mereka lebih sering mencoba menu baru dan membayarku lebih tinggi dari sisa restoran lainnya, makanya aku sering kesini. Aku kembali memandangi makanan-makanan itu, akhirnya memutuskan daging ayam yang akan kucoba dulu. Aku mengambil daging ayam itu dengan sumpit, cukup mencubit sedikit saja dagingnya, dan begitu menyentuh lidahku, aku langsung batuk keras. Si bibi memandangiku dengan cemas, tapi dia tidak mengatakan apapun. Aku langsung minum. Setelah berdeham beberapa kali dan memastikan lidah dan tenggorokanku masih waras, aku mengambil ramen, menggigitnya, rasanya cukup aman, tapi ketika kutelan, ramen itu membakar tenggorokanku dan langsung saja perutku mulas.

                "Ramennya enak, kan?"

                "Bumbu apa yang kalian pakai?" tanyaku, memegangi perutku, kasihan sekali perutku ini.

                "Lada hitam dan beberapa bumbu lainnya."

                Aku ngeri sekali membayangkan aku masih harus mencoba satu menu lagi. Perutku sangat sakit. Sumpitku bergetar saat mengarahkannya ke steak itu, mencubitnya lagi, lalu mengarahkan daging sapi itu ke mulutku, baunya, aneh sekali, aku tidak bisa memakannya... tapi aku akan dapat 160000 won dengan ini semua... aku...

                "Tunggu!" aku kaget mendengar suara pria, menjatuhkan sumpitku dan dagingnya.

                Mataku terpancang pada sesosok pria yang gemuk, jauh lebih gemuk dari aku, memasuki restoran, yang jelas aku tidak mengenalnya, dan sebenarnya aku ragu yang diteriakinya tadi itu aku. Tapi keraguanku terjawab, dia duduk di kursi di seberangku, mencabut sumpit, lalu mengambil daging sapi yang masih ada di piring. Ingin rasanya meneriakinya supaya dia tidak memakannya, tapi terlambat... dia sudah mengunyahnya. Wajahnya bulat, pipinya kemerahan, rambut pendeknya malah membuatnya tambah terlihat bulat, tapi di balik semua itu, dia cukup manis. Aku melihatnya mengunyah dengan wajah sangat berkonsentrasi. Tapi rupanya bukan Cuma aku yang terpana, si bibi juga.

                "Oke, aku sudah merasakannya. Mana kertas dan penanya?"

                Aku dan si bibi sekarang saling berpandangan bingung.

                "Kenapa kalian diam saja? Ayo, bukannya aku harus menuliskan kesanku tentang makanan tadi? Cepatlah, ahjumma."

                Si bibi kaget dan segera berlari ke balik counter untuk mengambil kertas dan pena. Tapi kenapa pria ini tau prosedurnya begitu? Apa dia juga mencari uang dan makanan dengan cara ini? Berarti dia mengambil jatahku dong!

                "Hoi, kau mengambil jatahku!" teriakku marah.

                "Tidak kok."

                "Masih bilang tidak? Jelas-jelas kau memakannya tadi!"

                "Nanti kita bicarakan di luar saja."

                Aku baru mau membentak lagi ketika si bibi sudah datang, menyerahkan selembar kertas dan pena pada kami masing-masing. Baiklah, di luar saja. Aku akan membantaimu. Aku mulai menuliskan opiniku tentang makanan mengerikan mereka tadi, berharap mereka tidak memberikan tamu mereka makanan seperti itu, atau restoran ini akan ditutup pemerintah Korea. Pada detik yang sama, aku dan dia mengembalikan kertas itu kepada si bibi, dan aku heran sekali melihat tulisannya yang banyak, padahal dia Cuma makan satu menu. Lalu si bibi memberikan 120000 won, padaku, dan pada si pria itu 70000 won. Aku kembali marah.

                "Gomapseumnida untuk kalian berdua, eh, Manshi dan... temanmu," ujar si bibi.

                "Dia bukan temanku, ahjumma! Dia itu perampok yang merampok..." dan mulutku dibekap.

                Aku akan menendangnya kalau saja dia tidak menarikku keluar restoran dan tidak melepasku sampai kami tiba di seberang jalan.

                "Oi! Lepaskan aku! Apa-apaan sih kau!"

                Lalu tanpa banyak bicara, dia menyerahkan 70000 won tadi padaku. Aku heran, sama sekali tidak mengerti.

                "Ini punyamu," katanya, suaranya melembut.

                Ekspresikupun melembut, "ah, itu punyamu. Kau yang makan tadi."

                Dia menarik tanganku dan meletakkan tujuh lembar uang itu di telapak tanganku. Aku sangat bingung.

                "Jangan lakukan itu lagi. Jadi pencicip makanan bukan profesi yang bagus, apalagi untuk gadis. Kalaupun kau terpaksa, jangan ke restoran itu lagi. Suatu hari kau akan mati disitu."

                Mendengar perkataannya, aku baru sadar perutku masih sakit, dan aku merasa seluruh tubuhku panas.

                "Nih. Wajahmu merah dan berkeringat."

                Dia menawarkan selembar tissue padaku.

                "Jangan lakukan itu lagi."

                Aku terdiam. Kenapa dia bersikap begitu lembut padaku?

It's gonna be 
It's gonna be me


Throw away your troubles and run
It's gonna be 
It's gonna be me

Listen to my real heartbeats

 
Pull you into my arms, what is more important

Wonderful like a fairy tale
It's gonna be 
It's gonna be me


Want to tightly grab you
It's gonna be 
It's gonna be me
 
The omen of happiness, will be known the next second

 
At least can touch the wet edges of your eyes


Sleeping quietly next to me
It's gonna be 

It's gonna be me

                "Kamsahamnida..." ucapku tanpa bisa berkata yang lain lagi.

                Dia tersenyum, wajahnya tampak lucu. Baru saja dia buka mulut, ada suara klakson di belakang kami. Kami menoleh dan melihat seseorang duduk di atas motor yang ukurannya keliatan kebesaran untuk pengandaranya yang kurus. Si pengendara membuka helm-nya baru aku bisa melihat jelas wajahnya. Dia cukup tampan, rambutnya meski lepek karena helm, tapi poninya yang agak pirang masih tertata rapi, dan wajahnya cukup lucu. Sayang sekali, terlalu kurus.

                "Oi hyung, aku cari-cari rupanya hyung disini. Kenapa tidak menyambut teleponku?" tanyanya dengan suaranya yang bagus.

                "Aih, aku lupa meninggalkan ponselku di apartemen. Kenapa kau mencariku?" dia balik bertanya.

                "Henry katanya pulang malam ini, jadi dia minta kita jemput."

                "Tolong deh, kita tidak ada mobil, dasar anak busuk yang satu itu. Aku coba Tanya Leeteuk hyung, Mimi atau Wonnie saja, kalau bisa pinjam mobil mereka."

                "Aku sekarang mau siaran, tiba-tiba ada yang minta aku gantikan, padahal kita ada kelas sebentar lagi. Hyung bisa gantikan aku mengajar?"

                "Boleh, tak masalah. Kau sekalian antar aku ya, kita searah."

                "Beres, hyung."

                Lalu si pria tadi kembali berbalik menghadapiku.

                "Aku pergi dulu yah. Sampai bertemu... kalau kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti. Oh ya, untuk meredakan rasa panasmu itu, mungkin gara-gara makanan tadi, kau ke caf yang namanya M.Chinno saja di distrik sebelah, lalu pesan yang namanya Forest Tea, dan keadaanmu akan baik lagi. Bye."

                Aku hanya terpana melihatnya naik motor di belakang si kurus. Untuk terakhir kalinya dia tersenyum padaku, dan si kurus menundukkan kepalanya padaku, lalu mereka pergi dengan cepat, buru-buru sepertinya. Bagus, aku tidak cukup mengucapkan terima kasih padanya. Parah sekali aku. Tapi dia siapa ya? Kenapa dia begitu baik padaku? Aku membalikkan badanku, berjalan menuju distrik sebelah. harusnya tadi aku Tanya namanya. Tapi dari yang kudengar... dia sepertinya guru, soalnya dia mengajar, kan? Tapi tidak mungkin bisa mencarinya di Seoul, sekolah begitu banyak! M.Chinno? oh, caf ini! Tapi cafenya mewah, apa tidak mahal nih? Tapi katanya bisa meredakan keadaan perutku... ya sudah deh, aku coba saja. Lagian teh tidak akan menghabiskan 160000 won kan segelas? Aku membuka pintu caf itu, dan langsung disambut pelayan pria.

                "Selamat siang, nona. Silakan duduk," sapanya sambil mengantarku duduk di meja untuk berempat dekat etalase caf.

                Aku was-was langsung membuka menu makanan dan mencari yang namanya Forest Tea. 4000 won per gelas, yah tidak terlalu mahal. Bolehlah dicoba saran pria tadi.

                "Aku mau Forest Tea," pesanku.

                "Kalau ada lagi yang nona perlukan, silakan panggil saya. Harap tunggu sebentar sementara saya menyiapkan teh. Saya permisi."

                Caf ini lumayan juga dekorasinya. Kalau aku punya banyak uang sih, boleh sering nongkrong disini.

                "Selamat siang, tuan. Silakan duduk," aku mendengar suara pelayan pria lainnya menyambut tamu.

                Karena aku duduk menghadap pintu masuk caf, otomatis kepalaku mendongak dan melihat tamu yang datang. Omo, itu Yesung-nya KRYSD, kan? Sendirian? Tumben. Hmm... dilihat-lihat, lumayan cakep juga dia. Tapi pandanganku teralih, karena aku merasa ada yang melambai-lambai di depan kaca. Aku menoleh, lalu mengenali mereka: tiga gadis yang kutolong malam itu. Sepertinya keadaan mereka baik. Tentunya mereka sekarang bahagia kan? Syukurlah. Aku melihat rupanya si jangkung yang melambaikan tangannya.

                 "Hei!!! Ini kami!" sapaannya terdengar samar-samar, terhalang kaca dan pintu yang tertutup.

                Aku tersenyum dan balik melambai untuk memberi isyarat bahwa aku mengenal mereka. Tak lama, merekapun sudah masuk ke caf dan menghampiriku.

                "Wah, bisa-bisanya ketemu kalian lagi. Ayo duduk," sapaku.

                Mereka langsung duduk di tiga kursi yang masih tersisa di mejaku. Aku jadi penasaran ingin tau kisah mereka dan KRYSD.

                "Kalian berhasil ke tempat mereka, kan?"

                "Iya. Kau hebat juga, alamatnya tepat," jawab gadis keriting.

                "Tentu dong. Tuh, coba lihat ke sana."

                Aku mengedikkan kepalaku ke depan, memberi isyarat pada mereka. Lalu mereka bertigapun melihat apa yang mau kutunjukkan pada mereka.

                "Itu Yesung, kan?" kataku.

                "Iya, kami belum bertemu dia. Dia tidak pulang semalam," jawab si keriting.

                Aku jadi heran melihat si gadis mungil menoleh ke belakang dan mematung, matanya terpancang pada sosok Yesung, tidak bergerak sedikitpun seperti patung.

                "Dia kenapa?"

                "Ah, Yifang jie memang begitu kalau menyangkut Yesung atau Ryeowook. Biarkan saja," si jangkung yang menjawab.

                Tapi bukan hanya si mungil yang namanya sepertinya Yifang itu yang membuatku heran, rupanya si keriting juga sibuk menoleh ke belakang, menembus kaca caf, melihat-lihat ke seberang jalan. Aku memicingkan mata untuk memperhatikan apa yang dilihatnya.  ZhongHan House. Ah, restoran China-Korea itu rupanya. Tapi restoran itu sedang tutup hari ini.

                "Makanan disana lumayan enak, kalian bisa coba kesana lain kali," promoku.

                "Oke," kata si keriting singkat.

                "Ngomong-ngomong aku belum tau nama kalian."

                "Ah, aku Huang Xili, itu Mai Yifang, dan yang ini Qian Meifen," Xili yang memperkenalkan, si jangkung itu.

                "Dan aku Cai Manshi, senang kenalan dengan kalian. Sepertinya kalian semua masih kecil ya? Berapa umur kalian? Supaya kita lebih akrab saja. Aku 19."

                "Kecil? Tentu tidak. Aku dan kau seumuran, kalau begitu. Yifang di atas kita satu tahun, dan Xili di bawah kita satu tahun," ujar Meifen.

                "Wah... kalian keliatan muda lho."

                Kami tertawa bersama, tapi Yifang masih tidak bergerak. Kulihat postur tubuh Yifang baik-baik. Gadis ini... jujur saja, perlu banyak ditolong.

                "Hei Yifang, Yesung tidak akan memperhatikan kau kalau kau tidak bisa berdandan begitu."

                Yifang menoleh, tampangnya cemas. Bagus, pukulan telak!

                "Apa aku jelek, Manshi?" tanyanya, cemberut, terlihat imut.

                Rupanya dia tau namaku, berarti telinganya masih berfungsi.

                "Aku tidak bilang kau jelek, pipimu bulat, kau lucu, menarik. Tapi... gaya berpakaianmu... hmm... juga kau perlu sedikit saja make-up. Mau tidak aku ubah gayamu?"

                Saat itu si pelayan datang dan mengantarkan minumanku. Aku mengucapkan terima kasih padanya.

                "Maksudmu make over? Tapi mahal, kan?"

                "Dengan Manshi, tak perlu takut mahal. Kau coba berdiri dulu agak jauh, berputar. Biar aku estimasi biayanya."

                Lucunya si Yifang ini, dia benar-benar menurut dan berdiri agak jauh, berputar di tempat. Tapi cukup berputar satu kali saja aku tau apa yang harus kulakukan padanya. Yang lebih lucu lagi, Yesung menoleh dan melihatnya melakukan itu. Hahah, si Yifang tak perlu tau lah. Biarkan mereka selesaikan masalah itu di apartemen nanti.

                "Cukup 20000 won saja, kau akan berubah. Oke?"

                Dia terlihat ragu, padahal itu murah sekali. Kusuruh dia berputar sekali lagi, dan diapun melakukannya lagi.

                "Ayo, Yifang, kami mau lihat kau berubah," Meifen menyemangati, disambut anggukan kepala Xili.

                "Ya... baiklah kalau begitu," ujar Yifang.

                "Nah, kita pergi sekarang. Pelayan, antarkan bill!" panggilku.

                "Tunggu! Biar kami yang traktir!"

                Yifang mengeluarkan dompet dan membayar bill-nya, lalu tersenyum padaku.

                "Traktiran karena kau sudah menolong kami."

                "Tak masalah. Ayo, pergi."

                "Tapi..."

                Yifang sekali lagi menoleh ke tempat Yesung duduk. Aku menarik tangannya.

                "Nanti kan kalian ketemu di apartemen. Jangan khawatir, nanti matanya tidak akan lepas darimu."

                Lucu juga jalan-jalan dengan tiga teman baruku ini. Pertama aku membawa mereka membeli nomor hape Korea, lalu membawa mereka ke salon (disini Yifang perlu potong rambut), membelkan baju terusan yang manis untuknya dan sepatu, semuanya di daerah yang agak murah di Seoul, yah bisa dibilang agak daerah pasar, tapi kualitas barangnya bisa dipercaya. Tidak lupa aku juga memberikan saran untuk barang-barang yang cocok dipakai mereka bertiga. Akhirnya Xili membeli beberapa dan Meifen, kulihat selera fashion-nya juga bagus, sering sependapat denganku untuk beberapa barang. Setelah lewat lima jam yang tidak terasa lama, aku merasakan perutku keroncongan. Tapi bukan perutku saja yang bunyi, rupanya perut Meifen juga berbunyi.

                "Ayo ke restoran fast food," ajakku sambil menunjuk resto di depan.

                Ketiganya mengangguk, maka kami ke resto. Seperti dugaanku, semua mata kini terpancang pada Yifang. Dia sudah nyaris sempurna, tinggal ditambah make-up.

                "Err... Manshi, kenapa mereka melihatku?" Tanya Yifang, lugu, atau bodoh, aku tak tau.

                "Karena kau keren. Setelah makan aku akan memakaikanmu make-up. Ayo, kita makan sambil ngobrol. Ngomong-ngomong, Meifen, kau Cuma makan salad?"

                "Aku vegetarian," jawab Meifen.

                Kami duduk makan setelah memesan beberapa dada dan paha ayam, hamburger dan kentang, juga minuman. Special untuk Meifen, dia makan salad. Lalu secara lugas, aku bercerita pada mereka bagaimana aku dibohongi si rakun jadi aku bisa disini, juga segala deritaku, aku tidak malu menceritakannya, mereka cukup bisa dipercaya. Yang mengagetkanku, mereka juga cukup terbuka, terutama Yifang, dia juga cerita tujuan mereka kesini.

                "Jadi, kau mau menyamar jadi orang itu, Manshi?" Tanya Yifang.

                "Boleh saja sih. Tapi bagaimana kalau KRYSD menyuruh kalian pindah ke apartemenku? Apartemenku kecil, kamarnya Cuma satu, tidak muat untuk kalian," jawabku.

                "Nah, kau pakai saja alasan itu, jadi kami tidak akan diusir ke tempatmu," usul Xili.

                "Ah... oke juga sih. Jadi... kerja, kuliah, tempat tinggal. Itu targetmu, Yifang?"

                "Yep."

                "Kita bahu membahu saja deh kalau soal kerja, soalnya aku sekarang juga jobless. Ngomong-ngomong, aku juga kepingin ke apartemen kalian dong. Aku ingin melihat penampilan mereka di rumah."

                "Boleh dong. Ayo, kita pulang," ajak Meifen.

                "Tapi sebelum itu, ayo kita ke toilet, Yifang. Aku perlu menyempurnakan penampilanmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun