Aku teringat masa kecilku, saat hanya berani melihat dapur dari balik pintu. Saat itu, aroma rempah saja sudah cukup membuatku senang. Kini aku ada di sini, ikut mengaduk santan dan menyusun bumbu. Rasanya seperti mimpi yang perlahan menjadi kenyataan. Kebersamaan dengan ibu adalah hadiah terindah menjelang lebaran.
Â
Di luar, suara bedug terdengar sebagai tanda malam semakin larut. Bulan tergantung di langit, cahayanya masuk melalui jendela dapur. Anak-anak akhirnya pulang ke rumah masing-masing. Suasana kampong menjadi tenang, hanya terdengar suara jangkrik. Dapur masih memancarkan kehangatan yang tak tergantikan.
Â
Ibu memperhatikan wajahku sambil tersenyum. "Besok kau bisa menceritakan pada anak-anakmu bahwa kau ikut membuat gulai ini," katanya. Aku tertawa kecil, merasa itu seperti janji yang harus dipegang. Tangan ibu menepuk bahuku dengan lembut, seolah memberiku semangat. Aku tahu gulai ini bukan hanya lauk, tetapi juga sebuah warisan yang harus dijaga.
Â
Ayah masuk membawa dua cangkir teh panas, lalu bergabung dengan kami. Uap teh bercampur dengan aroma gulai yang masih ada di dapur. "Malam ini terasa sangat indah," katanya singkat. Kami bertiga duduk bersama, menikmati keheningan yang bermakna. Sesuatu dalam dadaku terasa sangat damai.
Percakapan ringan berlangsung di antara kami, membahas rencana belanja pagi berikutnya, tamu yang akan hadir, dan kue yang masih perlu dibuat. Terkadang ibu tertawa lembut, menutup mulutnya dengan tangan. Ayah juga tersenyum, menikmati momen menjelang hari yang spesial. Aku hanya duduk hening, merasakan semua kebahagiaan. Malam ini seolah berjalan lebih lambat dari biasanya.
Â
Bulan akhirnya tinggi berada di angkasa, menerangi desa yang perlahan mulai tidur. Lampu-lampu di rumah tetangga mulai padam, hanya rumah kami yang masih terang benderang di dapur. Aku duduk di kursi, memandangi wajan besar yang sudah tertutup rapat. Rasanya seolah menyimpan berbagai rahasia di dalamnya. Kenangan hari ini akan selalu kuingat.
Â