Mohon tunggu...
Wylie Andrean
Wylie Andrean Mohon Tunggu... pelajar

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seribu Kenangan Dalam Semangkok Hidangan

20 September 2025   19:52 Diperbarui: 20 September 2025   19:52 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


 
Satu hari sebelum Idul Fitri, kampung kami sudah dipenuhi dengan hiruk-pikuk. Meski suara takbir belum terdengar, suasana antusias menyambut hari besar sudah terasa. Anak-anak bermain petasan di halaman, sementara para ibu sibuk menyiapkan makanan. Udara sore dipenuhi dengan aroma santan yang mendidih dari rumah-rumah sekitar. Aku berjalan pulang cepat-cepat, ingin segera bertemu ibu di dapur.

 

Rumah terlihat lebih ramai dibandingkan biasanya, lantai yang bersih berkilau akibat baru saja dipel. Ayah menggantung ketupat yang telah dianyam semalam di tiang bambu untuk dijemur. Aroma arang dari tungku kayu bercampur dengan udara sore. Di dalam rumah, terdengar bunyi piring dan sendok yang beradu. Namun ada satu aroma yang sangat kutunggu: gulai cubadak buatan ibu.

 

Aku meletakkan barang belanjaan di atas meja dan melangkah ke dapur. Ibu nampak duduk di bangku kecil sambil memotong nangka muda yang telah direbus. Uap panas keluar dari panci besar di sampingnya. Ia terlihat lelah tapi tetap tersenyum saat melihatku. "Sudah pulang, Nak? Ayo, kita masak bersama," katanya dengan lembut.

 

Aku segera mengangguk dan mendekat. Di meja tersedia bumbu yang sudah disiapkan: cabai merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, lengkuas, dan kemiri. Warna-warni bumbu itu sangat indah seperti lukisan. Tanganku ingin segera membantu mengulek, namun ibu meminta untuk menunggu. "Potong dulu nangka ini menjadi dadu, lalu peras airnya agar gulai lebih enak," ujarnya.

 

Dengan hati-hati, aku mulai memotong nangka muda. Getahnya masih lengket di tangan, membuatku merasa tidak nyaman. Setiap potongan mengingatkanku pada masa kecil, saat aku duduk di sudut dapur. Dulu, aku sering menunggu sambil mencium aroma masakan yang menggoda. Sekarang, aku sudah cukup dewasa untuk ikut serta dalam prosesnya.

 

Sementara itu, ibu mulai mengulek bumbu dengan tenang. Suara batu ulek dan alat ulekberpadu, menciptakan irama yang akrab. Aku melihat wajah ibu yang konsentrasi, keringat kecil menetes dari pelipisnya. Tangannya bergerak mantap, seakan-akan sedang menenun kenangan dalam setiap tumbukan. Aroma rempah yang muncul membuat hatiku terasa hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun