Merujuk pada pemodelan yang dibuat oleh Marcus Mietzner (Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation, 2009), diantara faktor yang mendorong tentara terlibat jauh dalam kehidupan politik adalah adanya esprit de corpus, semangat korp di kalangan tentara.
Yakni spirit sebagai institusi utama penjaga ideologi bangsa dan keutuhan negara. Spirit ini biasanya lahir dari akar historis kelahiran dan perkembangan institusi militer itu sendiri dalam lanskap sejarah perjalanan negara yang bersangkutan.
Esprit de Corpus tentara itu tumbuh dalam model Guardian sebagai salah satu dari empat model keterlibatan tentara dalam politik. Di dalam model ini militer tidak terlibat secara langsung dalam pemerintahan sipil.
Artinya militer tetap berada di luar pemerintahan dan bertugas menjalankan fungsinya sebagai alat utama pertahanan-keamanan negara. Akan tetapi, biasanya berdasarkan legitimasi historis, militer menjadi kekuatan yang sangat menentukan (determinative) dalam kehidupan politik.
Meski tidak persis betul, model The Guardian itulah yang (sedikit banyak) pernah terjadi di sepanjang era orde baru melalui doktrin politik Dwi Fungsi, dimana selain berfungsi sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, ABRI juga diberi fungsi sosial-politik.
Doktrin ini berakar pada pemikiran Jendral AH. Nasution tentang konsep "Jalan Tengah" tentara dalam konstelasi kehidupan politik nasional, yang diterjemahkan secara keliru dan kebablasan oleh Presiden Soeharto.
Distorsi Dwi Fungsi
Dampak buruk praktik Dwi Fungsi ABRI telah banyak dikaji para ahli dan peneliti. Diantaranya Daniel S. Lev ("ABRI dan Politik: Politik dan ABRI" dalam Jurnal HAM dan Demokrasi, 1999), yang menyimpulkan bahwa dwi-fungsi ABRI bukan saja memonopoli politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer.
Simpulan studi lainnya dikemukakan oleh Peter Britton (Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, 1996), yang mengungkapkan, bahwa "...bagian teritorial dari Angkatan Darat memastikan kehadirannya di setiap kota dan di sementara daerah, di setiap daerah, di setiap desa dengan tugas memelihara keamanan, mengawasi kegiatan-kegiatan aparat pemerintahan sipil dan bertindak sebagai pengawas-pengawas politik. Para perwira militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, semakin banyak yang beralih kepada kedudukan-kedudukan penting sebagai pejabat-pejabat pemerintah. Pemerintah daerah, pemerintah pusat dan industri, semuanya menjadi berada dibawah pengendalian".
Dominasi dan cengkraman tentara dalam kehidupan politik itu bukan saja telah mengakibatkan tersendatnya pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Melainkan juga telah melahirkan rentetan peristiwa dan berbagai bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) oleh aparatur ABRI di berbagai daerah.Â
Sebut saja misalnya peristiwa Tanjung Priok (1984), Talangsari Lampung (1989), kerusuhan 27 Juli 1996 dan Timtim pasca referendum penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur (1999) dll.
Ringkasnya, pelbagai distorsi dan ekses negatif penerapan doktrin Dwi Fungsi yang dikombinasikan dengan model struktur kekuasaan teritorial telah "menjerumuskan" ABRI sebagai tulang punggung pertahanan-keamanan negara yang mestinya fokus pada kesiagaan pengamanan negara dari berbagai ancaman (domestik maupun luar negeri, potensial maupun nyata) ke dalam area permainan politik yang merupakan domain masyarakat sipil.