Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

"Milu kanu Meunang", Filosofi Pemilu Warga Baduy

12 Januari 2024   14:41 Diperbarui: 12 Januari 2024   15:41 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Lunang, Milu kanu Meunang". Artinya ikut kepada yang menang, yakni peserta pemilu yang menang dan kemudian secara sah memimpin negara dan daerah.

Itu adalah filosofi politik warga Baduy dalam setiap kali perhelatan Pemilu atau Pemilihan/Pilkada digelar di sepanjang sejarah elektoral baik di era reformasi maupun era sebelumnya, masa orde baru. Bagaimana makna di balik filosofi Lunang itu ? Mari kita fahami.

Harmoni adalah Segalanya

Bagi warga Baduy, harmoni kehidupan adalah segalanya. Kehidupan yang mereka inginkan adalah tatanan kehidupan sosial yang damai, aman dan tenteram, serta jauh dari konflik dan kegaduhan.

Orientasi hidup harmoni tersebut telah dipraktikan warga Baduy secara turun temurun dalam konteks relasi warga dengan lingkungan alam. Mereka selalu berusaha untuk selaras dengan alam dan menjunjung tinggi etik dalam relasinya dengan ekosistem. Berikut ini salah satu pakem etik sosio- ekologisnya :

"Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu meunang diruksak, Pendek teu meunang disambung, Lonjong teu meunang dipotong". Artinya : Gunung tidak boleh dihancurkan, Lebak tidak boleh dirusak, Pendek tidak boleh disambung, Panjang tidak boleh dipotong".

Berbasis orientasi hidup harmoni itu, bagi warga Baduy Pemilu adalah paradoks yang tidak bisa diterima. Pemilu, yang dalam terminologi modern sejatinya memang merupakan kompetisi (persaingan) itu hanya akan menghadirkan pertentangan dan konflik terbuka di tengah harmoni sosial yang mereka jaga selama hidupnya.

Dalam perhelatan Pemilu, setiap orang dalam keluarga batih (inti) mereka akan terbelah, pun dalam masyarakat secara kolektif. Suaminya pilih partai A, istrinya bisa pilih partai B. Bapaknya pilih partai X, anaknya bisa pilih partai Y. Keluarganya pilih Paslon Fulan, tetangganya pilih Paslon Fulin. Ini contradictio in terminis dalam terminologi budaya harmoni yang mereka jaga, mereka pegang kukuh, dan mereka wariskan turun temurun.

Tetapi warga Baduy menyadari sepenuhnya, dunia mereka hanyalah ruang super-mikro di tengah mandala makro bernama Indonesia. Mereka juga sadar ada pemerintah yang berkuasa memimpin, mengendalikan dan mengatur kehidupan masyarakat, bangsa dan negara termasuk mereka. Para pemimpin itu, atau dalam logat khasnya, mereka sebut sebagai "Pamarentah" itu dipilih melalui mekanisme demokrasi (yang bagi mereka asing) bernama Pemilu.

Di atas kesadaran sebagai rakyat yang diperintah dan kesetiaan pada pakem sosio-kultural harmoni sebagai warisan leluhurnya mereka mengambil jalan tengah : Lunang itu, Milu kanu Meunang. Mereka menerima Pemilu sebagai perintah negara dan hajat bersama, tapi mereka tidak akan ikut memilih, tidak akan menggunakan hak pilihnya pada hari pencoblosan. Mereka hanya akan ikut pada pihak yang memenangi kontestasi Pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun