Dalam perjalanan pulang dari kampus, aku terkenang masa belasan tahun lalu.
Sejak kecil aku tidak pernah bermain dengannya, padahal kami tetangga. Setiap aku mendekat pada gadis itu, orang tuanya selalu menghalau. Tidak secara langsung, tapi dapat kurasakan.
Ia bebas bermain dengan anak laki-laki mana pun, kecuali aku. Ingin kuadukan hal ini pada orang tuaku, tapi aku khawatir Ayah atau Ibu melabrak orang tuanya. Dan seiring berjalannya tahun, kupahami bahwa orang tuaku dan orang tuanya pun tak pernah bertegur sapa.
Ketika aku dan teman-teman sekolah di TK dan SD yang sama---terdekat dengan permukiman kami, Vina sekolah di tempat lain. Begitu juga dengan SMP dan SMA, ia seolah dijauhkan dariku oleh orang tuanya.
Aku tahu namanya dari teman-teman yang bisa bermain dengannya.
Tapi saat kuliah, orang tua Vina tak punya pilihan. Kami menimba ilmu di kampus yang sama, dan sial bagi mereka, kami bahkan satu kelas!
Aku berkeras hati mendekati Vina. Ia pun ternyata demikian. Kami sengaja pergi dan pulang kuliah bersama. Kupikir Ayah dan Ibu akan memintaku menjauhi Vina, rupanya sedikit pun tidak. Sebaliknya, orang tua Vina habis-habisan melarang Vina dekat denganku.
"Banyak kisah beredar tentang orang tua kita, entah mana yang benar," keluh Vina suatu hari.
"Kamu gak takut dimarahi karena pulang bareng aku lagi?" tanyaku.
"Bodo amat, aku udah gede," jawab Vina di boncengan motorku.
Lama kelamaan, aku dan Vina sama-sama menaruh rasa. Kata orang Jawa---yang banyak di sekitar kami, witing tresno jalaran soko kulino. Awalnya kedekatan kami semata karena rasa penasaran, kenapa kami dilarang bermain bersama sejak kecil. Tapi penasaran itu kini berubah bentuknya.