Agaknya terdengar konyol membandingkan kampung halaman dengan perpustakaan. Yang benar saja! Tapi itu bagi kamu yang punya kampung. Apalah aku dan anak-anak yang tanah kelahiran kami cukup didatangi dengan satu kali naik angkot dari lokasi domisili sekarang.
Suamiku lebih ngenes lagi. Rumah masa kecilnya masih berdiri, tapi melompong tanpa orang dan perabotan. Tak ada tetangga yang kenal dia, Nenek dan Abah telah wafat, keluarga pergi jauh semua. Jadi setiap mendengar kalimat "libur panjang" aku dan suami berpikir keras, ke mana kita? Ngapain kita?
Kalau memikirkan diri sendiri, aku sih nyaman-nyaman aja di rumah. Kalau sedang tidak banyak proyek nulis, ya ngukur ranjang dengan buku di tangan. Aih, nikmat betul itu!
Tapi ada anak-anak, yang kubayangkan akan mendapat tugas dari sekolah ketika masuk nanti. "Anak-anak, ceritakan pengalaman kalian selama liburan kemarin, ya!"
Sebagai orang dewasa, aku akan senang kalau mereka menulis "Liburan Santuy, di Rumah Saja Tetap Seru!" Tapi aku juga pernah jadi anak-anak. Ketika melewati libur panjang dan diminta mengarang, aku akan lebih bersemangat menceritakan pengalamanku liburan di rumah paman di Bungo. Meskipun waktu di sana gak seru-seru amat sih, cuma bermain dengan sepupu, yang juga bisa kulakukan dengan kawan-kawan di rumah.
Tidak ada momen jalan-jalannya. Sepanjang pagi-malam kerjaan Mamakku cuma masak dan ngobrol dengan adik dan iparnya. Aku main, makan, main, tidur. Dari kecil aku gak suka TV, dan HP belum ada waktu itu. Tapi untuk ditulis, liburan ke rumah paman, itu terdengar lebih keren!
Sebenarnya libur sekolah belum dimulai, tapi karena sedang ada pembangunan, kegiatan class meeting yang biasanya diadakan selama guru mengisi raport, ditiadakan. Anak-anak libur lebih awal, bahkan tak perlu ikut datang saat pembagian raport nanti.
Ditambah suami sedang belajar di Jawa, anak-anak mabukan kalau naik mobil, alhasil untuk mengisi waktu libur mereka, paling banter kuajak anak-anak jalan-jalan dan jajan-jajan di tempat yang dekat saja. Salah satunya ke perpustakaan.
Terbilang modern, mengisi data kunjungan di perpustakaan ini tidak lagi dengan mengisi buku tamu. Tapi input melalui komputer layar sentuh di dekat resepsionis (sebutannya ini juga kah?) lalu tinggal menuju loker untuk meninggalkan tas dan membawa barang-barang penting saja.
Perpustakaan ini terdiri dari 3 lantai. Di bawah (mereka menyebutnya lantai dasar atau lantai 1 ya? Lupa) untuk lobi dan ruang baca anak. Di atasnya berbagai buku dengan semacam kafetaria, tapi hanya menjual minuman. Di atas lagi, terdapat area untuk lesehan dan beberapa unit komputer yang dapat digunakan pengunjung.
Entah karena faktor usia atau memang begitu adanya, menurutku koleksi buku anak di tempat ini kurang menarik. Bahkan ada beberapa buku yang rusak. Kalau dibawa ke Gramedia, anak-anak bisa kalap memilih. Akunya yang gak yakin dengan isi dompet. Tapi di sini mereka malah lebih antusias dengan mainannya. Tak masalah, yang penting mereka happy. Toh di rumah juga banyak buku.
Anak-anak dan pengunjung umum rasanya tidak terlalu banyak (kusimpulkan dari akumulasi beberapa kali kunjungan). Untukku sendiri, koleksi bukunya memang kurang lengkap. Aku yang kalau baca buku lebih suka berbaring sambil ngemil, juga tak terpenuhi kebutuhannya. Iya, lebay! Jangan dituruti. Pengunjung lain lebih waras kok!
Tapi kalau kamu punya nasib sama sepertiku. Gak punya kampung dan dikaruniai anak mabuk kendaraan, perpustakaan bisa jadi alternatif destinasi jalan-jalan. Bahkan meskipun di sana kamu nggak baca, minimal ada data pengunjung yang masuk ke mereka. Kasihan kan pegawainya, sudah bosan lihat bukunya itu-itu saja, tak ada pula kawan untuk berbagi derita.Â