Mohon tunggu...
Binoto Hutabalian
Binoto Hutabalian Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penulis di www.sastragorga.org

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji Plasenta

14 Juni 2019   10:35 Diperbarui: 14 Juni 2019   11:00 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PAGI itu sekitar Pukul Lima, adalah kali kedua seorang lelaki tua kembali memapah langkah menuju arah bukit kecil yang tak jauh di samping gubuknya dengan tentengan kain putih berlumuran darah basah di tangannya setelah empat tahun lalu juga ia melakukan hal yang sama. Langit masih remang dan berembun.

Langkah gemetar dari sisa-sisa tenaga begadangnya ia menelusuri perbukitan yang agak menanjak. Terus bergegas mencapai puncak. Dengan cangkul di tangan kanan dan bungkusan putih berlumur merah basah di tangan kiri. Hanya belasan menit perjalanan, langkahnya berhenti. 

Ia sejenak menghela nafas yang masih terengah-engah. Tepat di hadapannya berdiri tegak rimbun sebatang pohon beringin yang kelihatan sudah sangat tua umurnya tampak dari batangnya berbalut lumut yang menjalar hijau dan akar-akar gantungnya yang ramai menancapi tanah.

Sambil mengais-ngais tebaran dedaunan kering di sekitar beringin, si lelaki tua mulai menggali sebuah lobang. Tanahnya lembab dan gembur sehingga tak terlalu sulit menggalinya.

Di dalam lobang yang tidak begitu besar dan hanya tiga cangkul dalamnya itulah kemudian diletakkannya tentengan kain berlumur darah tadi lalu segera menguburkannya kembali dengan tanah galian serta mengeraskan tanahnya hingga betul-betul rapat sampai dipastikan tak akan ada lagi kemungkinan ada anjing yang bisa mencium dan mengoreknya keluar.

Sehabis meratakan tanah, si lelaki tua itu kemudian meluruskan tulang punggungnya dan menatap ke arah rindangnya dahan ranting pohon beringin tua di hadapannya. Tangannya seperti menengadah menyembah.

''Wahai roh para leluhurku, terimalah kehadiran anak keduaku di muka bumi ini dan tolong jaga dia agar terhindar dari mara bahaya sekitarnya. Berikan juga rasa sedarah diantara kedua anakku agar tetap mengingat tempat ini sebagai simbol keramat persatuan silsilah, tradisi, sejarah keluarga''. 

Dipalingkannya lagi wajahnya menatap segundukan tanah yang telah menyerupai kuburan kecil itu sambil berjongkok, kemudian memesankan sesuatu;

''Sebenarnya kamu dilahirkan berdua tapi hidupmu hanya sementara sebab harus berkorban demi kehidupan bayiku dan kau rela dipotong pisah dari pusarnya agar simbol kemanusiaan itu sempurna diterimanya. Aku sangat berharap agar senantiasa kau selalu mengawal hari-hari anakku kelak dan mengingatkannya tentang kebaikan, kedamaian dan bakti kepada leluhur''. 

Sejenak dia menghela nafas dan memejamkan mata lalu bergegas kembali menuruni bukit kecil di bawah semburat sinar mentari pagi yang mulai cerah menjelang siang sambil mengusap tetesan-tetesan keringat di dahi dengan punggung tangannya yang masih tersisa noda darah dan air ketuban.

Sesampainya di halaman gubuknya, nyaring tangisan mungil seorang bayi menyeruak seperti menyambut kedatangannya. Sebuah tangisan suci yang bagai menangisi persinggahannya di dunia fana yang penuh kekerasan ini. Pilu, menggema. 

Kelopak dan bola matanya yang masih tersekat rapat juga seperti meraba-raba gigil waktu di dada ibunya mencari cairan kehidupan yang bisa menyejukkan perasaannya kembali. 

Air-cinta yang ampuh menumbuhkannya, meremajakannya dan mengantarkannya mendewasa saat menghadapi masa-masa penjelajahannya menyusuri dunia nanti. ***

Hari, bulan dan tahun berganti ternyata telah mengubah sebagian warna kehidupan di dusun yang masih terpencil tersebut. Sementara pohon beringin tua itu nampak semakin tua dan satu-satu dahannya sudah mulai meranggas. 

Kelihatan orangtua yang berkepala putih bersama dua orang anaknya yang masih bocah menyusuri kembali bukit perjanjian untuk menjenguk perkuburan massal tali pusar dan ari-ari keluarga besar kaum mereka.

Sepanjang jalan mereka berbincang. Meski sedang dalam kondisi sekarat, Sang ayah masih dengan semangat memberi nasehat dan petuah kepada kedua anaknya yang serius menguping.

''Ditempat inilah nenek moyang kita dulu mulai menorehkan sebuah janji dan sumpah untuk selalu mengabdikan kerukunan hidup bagi keturunan-keturunan mereka serta agar selalu ingat melestarikan tradisi keluarga seperti apa yang telah ayah juga lakukan terhadap kedua ari-ari kalian ketika lahir. Tradisi itu perlu. Sumpah sedarah itu juga harus. Maka ingat dan resapkanlah kata-kata terakhirku ini di lubuk perekammu. Hendaklah damai yang selalu membentang di antaramu sampai kapanpun. Semoga kebaikan, kebajikan serta budi luhur selalu mengikat nafasmu dalam merayapi sisik bumi ini kelak Anak-anakku.'' 

Seusai mengucapkan pesan pamungkas yang menjadi penghalang keberangkatannya menghadap Sang Abadi, nafasnya pun serasa hempas lega meninggalkan raganya. Kini jiwanya sudah menyatu kembali dengan kekuatan petuah pohon tua itu. 

Yunus dan Mizbah adiknya kemudian mengebumikan jasad ayahnya di tempat itu, sesuai dengan pesan terakhir almarhum ayahnya agar ditempatkan bersebelahan dengan pusara ibunya yang setahun sebelumnya sedah meninggal akibat wabah penyakit malaria yang menyerang dusun mereka. 

Dan bukan hanya ibu-bapak mereka tapi seluruh penduduk dusun juga turut musnah ditelan bencana tersebut terkecuali mereka berdua yang  telah selamat yang dirawat sang ayah yang juga bertahan dan berjuang membesarkan kedua anak hingga di hari tuanya. 

Berkat demi berkat berantailah yang mungkin menyelamatkannya yang menjadi generasi penerus raja Kelana moyangnya yang konon sangat terkenal dengan segala  kebijakannya dahulu.

Untuk bisa mencari sumber kehidupan baru dan sekaligus menyambung tali generasi, mereka berdua akhirnya memutuskan beranjak dari kampung ulayat mereka. Sebab mereka berdua sadar sudah tak ada lagi perempuan di kampung itu sebagai tempat persemaian bibit kehidupan baru menemani mereka. 

Mereka pasrah keluar dari keterisolasian dusun. Berpikir akan pergi berkelana menuju sebuah tempat dimanapun nanti mereka bisa menompang hidup, dan  yang pasti jaraknya akan sangat lumayan jauh. Satu hari lebih lamanya  untuk menempuhnya dengan beralan kaki. Mereka  sepakat akan berangkat subuh.

Sepanjang perjalanan menyusuri kampung perbukitan terpencil itu, dan ketika menyusuri liku-likunya jalan tikus, wajah mereka berdua masih terus dirundung kesedihan mendalam juga rasa lelah yang mencengkeram di setiap langkah kaki. 

Dengan bermodalkan tekad dan sisa-sisa harapan, juga perut mereka yang hanya berbekalkan dua buah pepaya dan beberapa potong ubi rebus sebagai sumber tenaga akhirnya mereka lega setelah bisa menatap tanda-tanda kehidupan di lereng bukit yang tak jauh lagi jaraknya.

Matahari sudah hampir dimakan gua kegelapan di ufuk barat. Lembayung senja menyambut langkah pertama mereka hadir di kota itu.

Yunus yang saat itu sudah berumur 17 tahun yang cuma terpaut 4 tahun dengan adiknya. tampak terus menggandeng tangan adiknya dan terus memberi semangat untuk dapat bertahan hingga mereka dapat menemukan tempat persinggahan sementara untuk mengisi perut.

Karena sudah terlalu letih berjalan, Mizbah kecil tak sanggup lagi menyeret langkah dan memilih untuk duduk beristirahat di emperan sebuah bangunan yang berkubah. Yunus meyakinkan adiknya agar tetap menunggunya sementara ia pergi mencari rumah tumpangan yang mau menampung mereka berdua. "Mizbah, Abang segera kembali. Tunggu Abang disini. Jangan beranjak kemanapun. Doakan agar ada yang sudi mengasihi kita." Pesan Yunus bergegas pergi usai mendekap sang adik. 

Yunus buru-buru meninggalkan adiknya Mizbah. Kini mereka berpisah. Sementara si Bocah Mizbah hanya tau mengangguk dan masih belum terlalu paham atas maksud penantian yang diucap abangnya. Mizbah benar-benar menunggu. Dan menunggu. 

Berjam-jam ia terbaring lemas di emperan di sebelah sudut samping mesjid. Bahkan hingga pagi keesokan harinya. Mizbahpun pasrah dan tertidur lama. Dan lapar.***
 
Ketika bundaran cahaya langit mengirim bayang gelapnya di bumi, Magrib mengunci senja. Orang-orang sepenghuni kota mulai jarang di luar rumah. Hanya ada beberapa bangunan yang terlihat masih dikunjungi orang. Tempat itu mulai didatangi beberapa pria berpeci, berkopiah dan wanita-wanita berkerudung. Suara azan berkumandang nyaring dari pengeras suara menara Masjid kota. 

Sementara di dalam, Seorang ustad muda berdiri sembari menerima salam dari para umat yang berbaris menyapa. Dia ustad yang cukup disegani dan disenangi para umat muslim di kota itu. Ustad Mizbah yang saat itu sudah berumur 30 tahun memulai ceramah di hadapan umatnya tentang arti pentingnya persatuan, cinta dan kedamaian. 

''Ketahuilah umatku, bahwa sesungguhnya Allah itu hanya ada satu yaitu yang menciptakan alam dan manusia hanya lewat titah. Maka setiap manusia diwajibkan untuk saling rukun dan mencintai satu sama lain tanpa harus pandang bulu, ras, suku dan agama. Karena agama pada hakikatnya adalah hanya kebaikan saja dan bukan benci.'' Dengan ditutup Assalamaualaikum, ibadah mereka pun kemudian bubar dan ustad Mizbah kembali ke rumahnya. 

Seusai berganti pakaian malam itu, ustad menghampiri istrinya yang saat itu sedang hamil tua berumur delapan bulan.
''Ma, aku berniat cuti bulan depan agar bisa mudik ke kampung halaman orangtua saya dan besar harapanku agar anak pertama kita lahir di sana nantinya dan menanam ari-arinya di tanah leluhur sesuai pesan kakeknya dulu''. Sambil mengecup kening istrinya lalu menyuguhkan vitamin dan segelas air putih. Siti Aisyah hanya mengangguk dan selalu menuruti suaminya. ***

Selepas berpamitan dengan KH Umar ayah angkatnya yang dulu mengasuhnya dan sekarang sedang menanti ajal akibat usianya yang sudah sangat lanjut itu, ustad Mizbah akhirnya berangkat menuju kampung halamannya di perbukitan seberang yang sekarang telah berubah menjadi perkampungan modern. 

Namun tempat itu masih jelas terbubuh di ingatannya walaupun sudah hampir 16 tahun ditinggalkannya dulu. Dan selama itu jugalah ia telah berpisah dengan abangnya Yunus.

Mobil sedan hitam yang mereka naiki menepi di sebuah pekarangan rumah semi permanen yang di sampingnya berdiri sebuah gereja baru tepat di atas tanah orangtua mereka dulu. Dengan penuh pertanyaan di hati dia melangkah menuju pintu rumah itu. 

Beberapa langkah sebelum tiba di depan pintu, sebelum diketok tiba-tiba daun pintu telah dibuka dari dalam. Tampak laki-laki setengah baya berdiri disana. 

Ustad Mizbah terpaku setengah tidak percaya melihat orang itu yang ternyata pemilik rumah tersebut. Wajah itu seperti telah mengembalikan kenangan masa kecilnya dulu sewaktu masih ada di dusun itu.

''Bang..! Abang Yunus, kan?'' parau suara ustad menyapa seraya bergegas merangkul abangnya yang juga masih ragu karena wajah yang ada di hadapannya kurang dikenalinya. ''Aku ini adikmu Bang, Mizbah, enam belas tahun lalu kita telah berpisah di kota itu''. 

Kenangnya untuk mengingatkan Yunus yang rupanya sudah menjadi pendeta di tempat itu setelah dulu dia juga telah diasuh oleh suatu yayasan Kristen di kota yang sama.

''Mizbah, adikku?" Mulutnya bergerak spontan seraya menyambut pelukan adiknya yang juga telah lama dicari-carinya itu. Akhirnya pendeta Yunus mempersilahkan keluarga adiknya masuk ke rumah sembari kembali melepaskan rindu dengan mengingat kenangan-kenangan masa kecil mereka serta semua pesan orangtua kepada mereka dulu.

Sementara sekarang di dalam rumah telah ada lima orang manusia yaitu pendeta Yunus beserta istrinya yang sedang mengandung anak kedua dan satu orang anak laki-laki sulungnya termasuk Ustad Mizbah bersama istrinya yang kebetulan juga sama-sama sedang hamil tua.

Selama satu bulan mereka akan menunggu hari keramat bagi keluarga mereka itu guna menunaikan sebuah tradisi budaya turun-temurun ''Perjanjian Plasenta'' demi persatuan dan kerukunan anak-anak mereka kelak.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun