Mohon tunggu...
Binoto Hutabalian
Binoto Hutabalian Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penulis di www.sastragorga.org

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji Plasenta

14 Juni 2019   10:35 Diperbarui: 14 Juni 2019   11:00 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelopak dan bola matanya yang masih tersekat rapat juga seperti meraba-raba gigil waktu di dada ibunya mencari cairan kehidupan yang bisa menyejukkan perasaannya kembali. 

Air-cinta yang ampuh menumbuhkannya, meremajakannya dan mengantarkannya mendewasa saat menghadapi masa-masa penjelajahannya menyusuri dunia nanti. ***

Hari, bulan dan tahun berganti ternyata telah mengubah sebagian warna kehidupan di dusun yang masih terpencil tersebut. Sementara pohon beringin tua itu nampak semakin tua dan satu-satu dahannya sudah mulai meranggas. 

Kelihatan orangtua yang berkepala putih bersama dua orang anaknya yang masih bocah menyusuri kembali bukit perjanjian untuk menjenguk perkuburan massal tali pusar dan ari-ari keluarga besar kaum mereka.

Sepanjang jalan mereka berbincang. Meski sedang dalam kondisi sekarat, Sang ayah masih dengan semangat memberi nasehat dan petuah kepada kedua anaknya yang serius menguping.

''Ditempat inilah nenek moyang kita dulu mulai menorehkan sebuah janji dan sumpah untuk selalu mengabdikan kerukunan hidup bagi keturunan-keturunan mereka serta agar selalu ingat melestarikan tradisi keluarga seperti apa yang telah ayah juga lakukan terhadap kedua ari-ari kalian ketika lahir. Tradisi itu perlu. Sumpah sedarah itu juga harus. Maka ingat dan resapkanlah kata-kata terakhirku ini di lubuk perekammu. Hendaklah damai yang selalu membentang di antaramu sampai kapanpun. Semoga kebaikan, kebajikan serta budi luhur selalu mengikat nafasmu dalam merayapi sisik bumi ini kelak Anak-anakku.'' 

Seusai mengucapkan pesan pamungkas yang menjadi penghalang keberangkatannya menghadap Sang Abadi, nafasnya pun serasa hempas lega meninggalkan raganya. Kini jiwanya sudah menyatu kembali dengan kekuatan petuah pohon tua itu. 

Yunus dan Mizbah adiknya kemudian mengebumikan jasad ayahnya di tempat itu, sesuai dengan pesan terakhir almarhum ayahnya agar ditempatkan bersebelahan dengan pusara ibunya yang setahun sebelumnya sedah meninggal akibat wabah penyakit malaria yang menyerang dusun mereka. 

Dan bukan hanya ibu-bapak mereka tapi seluruh penduduk dusun juga turut musnah ditelan bencana tersebut terkecuali mereka berdua yang  telah selamat yang dirawat sang ayah yang juga bertahan dan berjuang membesarkan kedua anak hingga di hari tuanya. 

Berkat demi berkat berantailah yang mungkin menyelamatkannya yang menjadi generasi penerus raja Kelana moyangnya yang konon sangat terkenal dengan segala  kebijakannya dahulu.

Untuk bisa mencari sumber kehidupan baru dan sekaligus menyambung tali generasi, mereka berdua akhirnya memutuskan beranjak dari kampung ulayat mereka. Sebab mereka berdua sadar sudah tak ada lagi perempuan di kampung itu sebagai tempat persemaian bibit kehidupan baru menemani mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun