Aku masih berdiri di hadapan Ray, mengurungkan niatku untuk bergegas pergi. Tiga detik kemudian, aku mendapati laki-laki itu sudah memelukku. Aku sempat memberinya respon penolakan. Namun, Ray justru memelukku semakin erat dan berkata lagi, "sebentar saja."
Aku tahu ini benar-benar tidak seharusnya, tetapi aku menikmati sentuhan Ray itu. Aku menekuni tiap embus napasnya. Aku bahkan dapat merasakan debar jantungnya. Tepat saat tangannya mulai bergerak membelai rambutku, aku ingin sekali bertanya, "apakah pernah sekali saja kamu merindukanku?"
"Maaf, Al. Maaf karena terlalu sering membuatmu kecewa dulu," tukas Ray sebelum aku sempat mengutarakan pertanyaanku.
"Tidak perlu minta maaf, aku baik-baik saja." Aku memberinya balasan diiringi senyuman yang tentu saja tidak dapat dilihatnya. "Boleh minta sesuatu?" tanyaku kemudian.
"Apa pun," balas Ray, masih sambil mendekapku.
"Berdoalah untuk kebaikanku, aku mohon."
"Semoga kamu bahagia, Al." Kalimat itu entah mengapa terdengar sangat manis di telingaku. "Ah, tidak. Kamu pasti akan bahagia. Laki-laki itu pasti akan memperlakukanmu dengan teramat baik," ralatnya.
Aku lantas melepaskan pelukannya. Aku harus pergi sekarang sebelum air mataku turun.
"Sayang sekali, Al. Aku tidak bisa memenuhi undanganmu. Aku akan berangkat tepat hari itu. Jadi...,"Ia mengulurkan tangan kanannya, mengajakku berjabat. "... sekali lagi selamat. Semoga kamu selalu bahagia."
"Terima kasih." Aku tersenyum padanya.
"Selamat tinggal, Ray!"