Mohon tunggu...
Ririn_AZR
Ririn_AZR Mohon Tunggu... Penikmat Tulisan

Ingin terus belajar, memperbaiki diri, dan menghargai hidup lebih dari saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Undangan

29 Desember 2020   18:01 Diperbarui: 29 Desember 2020   18:19 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Laki-laki itu menemanimu menonton teater?" tanya Ray. Aku hanya mengangguk merespon pertanyaan Ray. Ya, Farish memang selalu menyempatkan waktu liburnya untuk menemaniku menonton teater. Aku sebenarnya tahu bahwa Farish sama saja dengan Ray --tidak menyukai teater. Namun, aku dapat melihat bagaimana Farish berusaha menikmati apa yang ku suka, meskipun aku tak pernah memintanya untuk melakukan itu.

"Ia juga menemaniku ke toko buku, membantuku membuat brownies, menjadi pencicip pertama masakanku tiap akhir pekan. Minggu lalu, ia memilihkan blazer yang cocok untuk kukenakan saat menjadi pembicara seminar di Bali. Kemarin, ia juga mengganti lampu kamar mandiku yang putus." Pada akhirnya, aku berbicara banyak tentang Farish, menceritakan beberapa hal yang pernah Farish lakukan. Hal-hal kecil tetapi menurutku manis, yang dulu aku berharap Ray akan melakukannya untukku. Ya, dulu aku berharap, bahkan sangat berharap.

"Akhirnya kamu menemukan orangnya, Al. Apa lagi yang bisa kukatakan selain ucapan selamat?" Ray tersenyum lebih lebar kali ini tanpa sedikit pun tahu apa yang aku rasakan sekarang. Aku yakin Ray tidak tahu bahwa kadang hatiku masih saja merapalkan harapan itu. Ray tidak akan pernah tahu bahwa saat Farish duduk di sampingku di kursi penonton teater, kadang aku berharap laki-laki di sampingku adalah Ray. Saat Farish mencicipi setiap masakanku, aku berpikir betapa bahagianya aku jika saja orang itu adalah Ray.

Mungkin karena aku tak lagi bicara, Ray kembali memfokuskan diri dengan pekerjaannya. Aku kemudian nyaris tak berkedip, memperhatikan tiap detail laki-laki itu. Ray terlihat lebih kurus daripada ia saat terakhir kali kami bertemu --sepuluh bulan lalu. Aku tidak dapat mencegah otakku untuk berpikir apakah Ray sempat sarapan selembar roti sebelum berangkat ke kantor tadi pagi, apakah ia sempat keluar makan siang hari ini, atau mungkin jangan-jangan asupannya hari ini baru secangkir kopi yang ia minum sekarang.

Ray menangkap basah kedua mataku yang sedang sibuk memperhatikannya. Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya, seperti meminta penjelasan --padahal aku tahu bukan.

"Kamu baik-baik saja, Ray?" tanyaku pada akhirnya, antara ingin tahu dan untuk menutupi kegugupanku. Ray tersenyum sebelum menjawab, "lebih dari itu. Minggu depan aku akan berangkat ke Inggris, belajar lagi." Aku melihat mata laki-laki itu berbinar saat mengatakan kabar baik tersebut. Aku tahu lebih dari siapa pun bagaimana terobsesinya Ray dengan dunia desain grafis.

"Selamat!" ucapku, tulus.

Ray sepertinya baru saja ingin mengatakan sesuatu saat suara dering ponselku memenuhi ruang dengar kami.

Farish.

Aku menatap Ray. Laki-laki itu lantas memberikan gestur mempersilakan aku untuk menjawab telepon itu. Aku pun beranjak beberapa meter dari meja yang kami tempati. Tak sampai satu menit, aku sudah kembali ke meja bernomor tujuh itu.

"Aku harus pergi, Ray." Tanpa duduk kembali, aku meraih tas tanganku yang tergeletak di meja. Ray yang sebelumnya sedang memandangi layar laptopnya, langsung mengalihkan pandangannya ke mataku. "Sebentar saja," katanya, membuatku tak mengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun