Aku menggeser kertas tebal bersampul plastik bening ke sisi meja di hadapannya. Laki-laki yang sedang menyesap kopi hitamnya itu tak lantas berhenti dan meletakkan cangkirnya. Aku tahu, ia memandangi setiap gerakku. Aku pun tahu, ia pasti sudah dapat menebak apa yang tertulis di kertas tebal yang kusodorkan padanya itu hingga ia tak perlu terburu-buru untuk membacanya. Mungkin belasan detik berlalu sampai akhirnya aku mendengar bunyi denting halus saat ia meletakkan cangkirnya kembali di meja.
Laki-laki itu sebenarnya bukan penyuka hitam, tetapi seperti kebiasaannya sejak dulu, malam ini ia mengenakan kaus berkerah berwarna hitam. Aku pernah bertanya mengapa ia sangat suka mengenakan pakaian berwarna gelap itu, tetapi ia hanya menjawab: "apakah harus ada alasannya?" Begitulah yang selalu ia katakan saat aku bertanya mengapa ia begini, mengapa ia begitu.
Laki-laki itu, Rayyan Adritama, tak pernah mau ambil pusing dengan alasan-alasan yang ada di balik setiap hal. Namun, aku yakin ia tahu mengapa kertas tebal yang sekarang berada di tangannya itu berwarna merah. Salahkah aku jika terlalu yakin ia masih ingat bahwa aku penyuka merah?
Aku melihat kedua bola matanya menelusuri tulisan yang tercetak di bagian depan kertas tebal tadi. Tulisan yang bertintakan warna emas: Adelia & Farish. Untuk beberapa jenak, ia membiarkan pandangannya terpaku pada tulisan itu. Setelahnya, ia tersenyum. "Selamat!" serunya kemudian.
Aku menyadari tubuhku menegang. Aku tak berujar sepatah kata pun untuk membalas ucapan selamat darinya. Aku masih setengah tidak percaya bahwa pada akhirnya akan ada saat seperti ini, saat di mana aku memberikan undangan pernikahanku padanya. Undangan pernikahan yang bukan bertuliskan nama kami berdua di dalamnya.
Ia kembali menikmati kopinya sementara aku mau tidak mau menikmati kegetiran yang entah mengapa mulai merayapi perasaanku. Sejak awal, aku tahu bahwa melakukan hal ini sama sekali tidak mudah. Aku bahkan berkali-kali berpikir untuk menyerahkan undangan itu atau tidak padanya. Aku juga sempat berniat untuk mengirimkan undangan itu ke alamat kantornya saja, tetapi entahlah... aku merasa aku ingin bertemu langsung dengannya, berbicara sedikit lama dengannya. Ya, mungkin ini untuk terakhir kalinya.
Jadi, di sinilah aku sekarang, di kedai kopi favoritnya. Aku hapal betul kebiasaan Ray menghabiskan waktu berjam-jam setelah jam kantor untuk menikmati cangkir demi cangkir kopi di kedai ini. Meskipun aku sama sekali tidak menyukai minuman berkafein itu, dulu aku sering menemani Ray melewati malamnya di sini. Laki-laki itu tampaknya sama sekali tidak terkejut saat aku muncul dengan tiba-tiba di hadapannya beberapa menit lalu, menarik sebuah kursi, dan duduk. Kedatanganku terlihat normal saja baginya, seakan-akan aku baru saja datang kemarin kemudian kembali lagi malam ini.
Seperti yang sudah aku duga sebelum menyambangi tempat ini, aku mendapati laki-laki itu sedang menatap serius layar laptopnya. Tentu saja, yang ia lakukan adalah meneruskan pekerjaan kantornya. Ia tak pernah peduli sedikit pun meskipun dulu aku sering menjulukinya maniak kerja. Ia tidak pernah terusik dengan ocehanku tentang bagaimana seharusnya ia membagi waktunya dengan baik, antara pekerjaannya sebagai creative director di sebuah perusahaan advertising multinasional dan kehidupan pribadi juga sosialnya.
"Berceritalah tentang orang itu!" tukasnya tiba-tiba. Aku yang semula menunduk refleks mengangkat kepalaku. Mataku beradu dengan tatapannya yang sampai sekarang masih terasa begitu teduh sekaligus hangat bagiku. Aku diam dan bertanya-tanya sendiri mengapa mendengar suara laki-laki itu masih saja membuat hatiku bergetar. Semua yang ku rasakan saat ini seolah belum ada yang berubah dari hubungan kami. Seolah kami masihlah kami yang dulu.
"Al...." Ia menyerukan namaku. Aku selalu senang mendengarnya memanggilku begitu. Hanya ia yang melakukannya. Al untuk Adelia Larasati, seperti yang sering kutuliskan di halaman depan buku milikku.
Aku tiba-tiba kehilangan kata untuk menjawab pertanyaan Ray. Aku masih terlalu sibuk mengendalikan perasaanku.