“Aaaalah!! Sudahlah. Tidak ada orang kaya yang baik, semua hanya sandiwara. Sekarang kalin sudah menjadi orang tidak berada seperti kami. Sang penasehat itu benar-benar mengerti yang kami rasakan. Hanya orang tidak berada seperti kita yang memiliki iman tinggi, betul tidak saudara-saudara?"
“Betul.. betul..” Jawab kaum papa lain beramai-ramai.
Kehidupan kota ini benar –benar berubah, Sang penasehat semakin giat memberi fatwa dan kami pun terpaksa melaksanakannya.
Setahun berlalu. Banyak orang yang melarat. Ada yang menjadi pengemis, pemulung, dan pencuri. Ada juga yang sakit-sakitan dan meninggal karena tidak punya harta untuk berobat.
Si budiman, pengusaha limbah kini sudah jatuh miskin dan melarat. Ia kembali memulung. Si Cambong, restorannya bangkrut. Ia bahkan tidak bisa lagi berjualan cilok karena tidak punya uang sepersen pun.
Masalah ini semakin besar ketika orang asing datang ke kota kami. Mereka mendirikan toko dan perusahaan besar lalu menjadikan masyarakat kota ini sebagai budak bisnisnya.
Kami pun geram pada sang penasehat. Namun jawabannya sungguh membuat emosi kami semakin membara.
“Bersabarlah bapak ibu, ikhlaslah. Tuhan bersama kita, biarkan mereka ambil dunia ini, kita cukup berserah diri saja!”