Kapal mulai menjauh.
Pambudi tak mengejar. Ia hanya berdiri diam, tangan di dada, menatap sampai kapal itu jadi titik di cakrawala.
Hari itu bukan hari kehilangan.
Itu hari persembahan.
---
Tahun-tahun berlalu.
Camp 6 Ambarawa dijadikan sekolah kejuruan. Di dalamnya, ada satu ruang khusus bernama "Ruang Nora." Di sana, siapapun bisa membaca salinan surat-surat, catatan-catatan tangannya dan mendengar rekaman suara kesaksiannya.
Pambudi menjadi salah satu pengajar di tempat itu. Anak-anak sekolah yang datang memanggilnya "Pak Bud", dan mereka mencintainya seolah ia kakek yang mengisahkan legenda.
Setiap pagi, sebelum membuka pintu sekolah, ia akan berdiri di depan altar kecil yang ia buat dari puing dapur lama. Di sana, ia menyalakan lilin, meletakkan setangkai bunga dan membaca satu kalimat dari surat terakhir Nora:
"Jika suatu hari aku tak bisa pulang, ingatlah bahwa aku tidak pernah pergi dari dalammu."
---
Sementara itu, Nora tak pernah kembali ke Indonesia. Tapi ia menulis banyak. Buku hariannya diterbitkan dan menjadi bahan kajian di universitas-universitas Eropa.
Dalam salah satu wawancara ia sempat ditanya:
"Apakah Anda pernah merasa menyesal tidak memilih hidup yang lebih ringan, lebih bahagia?"
Jawabannya hanya satu: