LAGU YANG TAK SELESAI
Bab 15 Pertemuan yang Tak Pernah Selesai
Suasana aula kecil di Semarang itu tak lebih dari gereja tua yang disulap untuk menjadi tempat sidang saksi. Dindingnya masih menyimpan bau lilin dan kayu lapuk. Namun hari itu, bangku-bangkunya penuh. Wartawan dari negeri asing, relawan Palang Merah dan sejumlah wajah dari masa lalu duduk diam, seperti sedang menanti liturgi yang tak biasa selain kesaksian dari mereka yang pernah dikurung bukan hanya secara fisik tapi juga secara batin.
Nora duduk di depan, mengenakan gaun abu-abu sederhana, rambutnya diikat rendah. Wajahnya terlihat begitu letih, tak sebanding dengan muda usianya. Sorot matanya menyimpan api yang tidak pernah padam. Ia membuka map lusuh yang ia genggam erat sejak pagi dan berkata dengan suara jernih:
"Saya bukan datang untuk menuntut. Saya datang membawa suara-suara yang dulu tidak sempat bicara.
Kami, para interniran, bukan hanya bilangan angka dalam laporan perang. Kami adalah manusia yang menyanyikan lagu pengantar tidur di tengah deru bom. Kami adalah para ibu yang mengajari anak-anaknya berdoa meski tanpa lilin.
Dan kami adalah saksi bahwa cinta tidak mati di tempat tergelap. Bahkan ketika roti dibagi menjadi empat, dan pelukan diganti dengan isyarat mata."
Semua yang hadir terdiam. Beberapa mencatat dengan terburu-buru. Yang lain menyeka mata mereka diam-diam. Tapi satu orang berdiri tak berkedip di pintu aula : Pambudi.
Ia datang terlambat. Karena bis dari Ambarawa rusak setengah jalan. Karena jalanan berlumpur. Karena, seperti biasa, hidup tak pernah memberi waktu sempurna bagi dua hati yang setia menanti.
Namun ia datang. Dan matanya tak lepas dari sosok itu, wanita yang ia kira akan disambutnya dengan peluk. Tapi tak ada cukup waktu.
Ketika Nora turun dari podium, ia diarahkan langsung ke luar oleh petugas Palang Merah. Kapal yang akan membawanya ke Belanda, tempat rehabilitasi dan pengobatan sudah bersiap di pelabuhan. Hanya ada waktu beberapa menit.
Pambudi berlari.
Menembus kerumunan.
Menyerobot pagar kecil.
"Nora!" teriaknya, seperti meneriakkan nama yang selama ini ia bisikkan dalam doa.
Nora menoleh. Matanya langsung basah. Tapi langkahnya tak bisa berhenti. Para petugas memintanya naik.
Pambudi tiba tepat ketika tali tambat kapal dilepas.
Mereka berdiri terpisah satu dermaga, satu di dek, satu di daratan. Tak ada peluk. Tak ada janji. Hanya tatapan yang memuat ribuan hari yang tak akan bisa diulang.
"Maafkan aku..." ucap Pambudi, nafasnya terengah.
Tapi Nora hanya tersenyum, air matanya membasahi pipi.
"Kita sudah cukup," katanya pelan, hampir tak terdengar.
"Tak semua cinta harus dimiliki. Tapi cinta yang tetap setia... itu sudah seperti surga yang kudamba."
Kapal mulai menjauh.
Pambudi tak mengejar. Ia hanya berdiri diam, tangan di dada, menatap sampai kapal itu jadi titik di cakrawala.
Hari itu bukan hari kehilangan.
Itu hari persembahan.
---
Tahun-tahun berlalu.
Camp 6 Ambarawa dijadikan sekolah kejuruan. Di dalamnya, ada satu ruang khusus bernama "Ruang Nora." Di sana, siapapun bisa membaca salinan surat-surat, catatan-catatan tangannya dan mendengar rekaman suara kesaksiannya.
Pambudi menjadi salah satu pengajar di tempat itu. Anak-anak sekolah yang datang memanggilnya "Pak Bud", dan mereka mencintainya seolah ia kakek yang mengisahkan legenda.
Setiap pagi, sebelum membuka pintu sekolah, ia akan berdiri di depan altar kecil yang ia buat dari puing dapur lama. Di sana, ia menyalakan lilin, meletakkan setangkai bunga dan membaca satu kalimat dari surat terakhir Nora:
"Jika suatu hari aku tak bisa pulang, ingatlah bahwa aku tidak pernah pergi dari dalammu."
---
Sementara itu, Nora tak pernah kembali ke Indonesia. Tapi ia menulis banyak. Buku hariannya diterbitkan dan menjadi bahan kajian di universitas-universitas Eropa.
Dalam salah satu wawancara ia sempat ditanya:
"Apakah Anda pernah merasa menyesal tidak memilih hidup yang lebih ringan, lebih bahagia?"
Jawabannya hanya satu:
"Tidak ada yang lebih bahagia daripada mencintai dengan sepenuhnya, walau harus merelakan sepenuhnya pula."
---
Jauh di tanah kelahirannya, Anna, anak kecil yang dulu diajari Nora membaca, kini menjadi pustakawan keliling yang membawa buku ke desa-desa.
Pieter menjadi pastor Jesuit. Setiap misa, ia menutup homilinya dengan kalimat yang ia kutip dari catatan Nora:
"Tuhan hadir paling jelas di tengah penderitaan."
Ibu Tien membuka panti asuhan bagi anak-anak yatim pascaperang, menamainya: Rumah Senja Nora.
Dan setiap 17 Agustus, di Camp 6, ada misa syukur kecil. Tidak ramai, tapi penuh karena yang datang bukan untuk mengenang perang, mereka datang untuk mengingat bahwa cinta dan iman bisa tumbuh bahkan dari tanah yang dulu beku oleh ketakutan.
Pun ketika malam tiba dan angin Ambarawa berembus ke dapur tua sekolah itu, kadang terdengar suara pelan:
"Pambudi... kita sudah cukup."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI