Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengenang Budi Darma dan Wejangan-wejangannya

21 Agustus 2021   09:44 Diperbarui: 21 Agustus 2021   15:03 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastrawan dan Akademisi Budi Darma | Kompas.id

BUDI DARMA berpulang hari ini. Begitu saya baca sebuah berita dalam grup WhatsApp alumni. Saya jadi teringat petuah-petuah beliau tahun 2016 tatkala saya bertemu dengannya dalam sebuah event besar di Jakarta.

Berikut tulisan saya tanggal 9 Mei 2016 yang mencoba menangkap kearifan seorang akademisi yang juga sastrawan ini.

Bertemu di Asean Literary Festival 2016

Mengikuti Budi Darma yang sosoknya baru saja saya ketahui di perhelatan sastra akbar, Asean Literary Festival, tahun ini memberikan keasyikan tersendiri.

Jujur saja, saya bagian dari generasi Y atau milenial yang (kelahiran 1980-an) yang tidak tahu lagi dengan para sastrawan Indonesia angkatan lama yang setara dengan kakek-kakek mereka. Jangankan karya-karya mereka yang dianggap berkualitas prima, nama-nama mereka saja masih terdengar asing di telinga.

Pemerhati sastra Agus Nur benar. Seperti pernyataannya yang saya kutip di sini, ada banyak pembaca muda milenial yang tak tahu siapa Budi Darma. Dan ini sudah sepatutnya membuat kita semua risau.

Kerisauan tersebut menurut Agus bisa diatasi dengan memperbanyak pasokan buku-buku sastrawan Indonesia yang masuk dalam jajaran klasik ke dalam perpustakaan-perpustakaan kita dan juga menerbitkannya ulang untuk dijual pada pembaca luas di toko-toko buku.

Dalam makan siang di Sabtu yang cuacanya memeras keringat itu, saya kembali bertemu Budi dalam satu meja makan. Kami berceloteh tanpa ada gangguan. Memang benar adanya bahwa Budi Darma tak begitu dikenal kelompok pembaca muda, karena sedari tadi saya tak menemukan kerumunan anak muda di sekitarnya.

Sejauh pengamatan saya, kebanyakan yang bersamanya atau menyapanya adalah mereka yang sudah tidak bisa lagi dikatakan remaja atau pemuda.

Pembaca-pembaca karya Budi telah memasuki usia matang dalam kehidupan mereka. Dan karena kematangan itu pulalah, antusiasme mereka tidak akan tersalurkan seliar anak-anak muda yang mengantre untuk memburu tandatangan pengarang muda kontemporer nan populer.

Begitu ia katakan tempat kelahirannya ialah Rembang, saya bertanya lokasi tepatnya. "Apakah di sekitar Pecinan situ, pak?"

"Dari alun-alun Lasem menuju ke Pati, ada tiga jalur. Rumah saya dulu yang ada di jalur tengah. Di tengah kota," terang pria yang masih berambut legam itu.

Saya katakan asal saya tak jauh dari tempat kelahirannya itu, dan Budi terdiam sejenak, seakan menggali ingatan-ingatannya yang sudah terkubur mengenai Kudus dan kembali dengan sebundel memori. Ia berkata ia pernah beranjangsana ke kota kretek tempat saya dilahirkan.

Dari topik itu, percakapan tiba-tiba bergulir ke berbagai tema, dari Kudus Kulon versus Kudus Wetan. Saya katakan dinding-dinding pagar rumah warga keturunan di daerah Budi Darma berasal biasanya setinggi dua kali tinggi normal manusia. Ia mengangguk seketika. Saya pernah berkunjung ke sana menyaksikannya sendiri. "Sama seperti dinding-dinding pagar rumah orang Kudus Kulon juga, pak," tukas saya.

Budi mencap saya sebagai orang Kudus Kulon, karena rumah orang tua tempat saya dibesarkan ada di sisi barat ("kulon" adalah kata dalam bahasa Jawa untuk merujuk ke "barat") sungai Gelis. Saya kurang sepakat. Saya tidak pernah merasa demikian sebab setahu saya wilayah Kudus Kulon tidak mencakup rumah saya.

Kemudian kami mengobrol juga soal orang kaya dari Surabaya yang membeli banyak gebyok (ukiran kayu berpelitur) rumah tradisional khas Kudus yang tersohor dengan kerumitan pembuatannya dan harganya yang selangit.

Saya dengan bangga menceritakan sampai berbusa-busa mengenai ukiran Kudus. Dari Kyai The Ling Sing yang jago mengukir dan juru dakwah sampai ke ukiran kayu Kudus yang kata teman saya di Ubud bisa mencapai harga seperempat miliar rupiah.

Saya makin terkejut saat ia menyebut "rumah kapal" dalam pembicaraan. Rumah itu adalah bangunan milik pengusaha rokok di Kudus yang kebetulan hanya berjarak selemparan batu dari gedung sekolah dasar saya. Selama lima tahun saya berolahraga di sana sebagai siswa SD Muhammadiyah 1 Kudus.

Budi rupanya tahu bangunan itu saat ia berkeliling di kabupaten terkecil di Jawa Tengah ini. Ia menanyakan kabar rumah unik yang didesain mirip kapal itu.

Dan dengan nada sendu saya katakan rumah itu sudah tak terawat saat saya masih SD. Setelah 20 tahun lebih berselang, bangunan antik yang dibangun di masa kolonial itu saya saksikan sendiri sudah rata dengan tanah dan digantikan oleh bangunan komersial.

Mantan Aktivis 60-an

Setelah menerobos ke kenangan masa lalu saya, Budi mengajak saya larut dalam masa mudanya juga. Masa saat orang tua saya saja masih anak-anak. Ia mengenang masa mudanya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menurutnya saat ia masuk di era awal 1960-an masih carut marut.

Sebagaimana mahasiswa zaman sekarang, berkumpul tidak akan luput dari tema dosen-dosen yang menyebalkan. Dan ia masih ingat seorang dosen yang konon bergelar bangsawan namun 'raja tega' bagi para mahasiswanya. Bayangkan saja, dosen bangsawan itu membiarkan seorang mahasiswa harus menunggu selama sembilan bulan lamanya demi keluarnya nilai sebuah mata kuliah agar ia bisa diwisuda.

Begitu nilai itu keluar, ternyata tidak lulus sehingga si mahasiswa naas harus mengulang lagi dan tidak bisa segera meninggalkan kampus. Apakah mahasiswa itu teman dekat Budi atau dirinya sendiri? Entahlah. Itu masih menjadi misteri. Saya tak punya nyali menanyakan lebih lanjut karena takut dianggap lancang.

Pergolakan politik Indonesia di awal tahun 1960-an hampir mencapai titik klimaks. Efeknya terasa hingga ke dunia akademis yang menjadi tambatan Budi yang juga turut berguncang hebat. "Waktu itu tahun 60... Saya jadi sekretaris dewan nasional, kalau sekarang namanya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).

Saya sering sekali melihat orang berkelahi dan menangani orang berkelahi, yaitu orang GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia -- cikal bakal PDI Perjuangan, menurut Budi), CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Mereka sering bentrok."

Apalagi sesudah ia lulus, kekerapan perkelahian fisik makin tak terbendung. Budi lulus dari UGM tahun 1963. Dua tahun kemudian, kondisi memburuk.

Tindakan saling teror itu sebetulnya sangat kekanak-kanakan. Budi menyebut seringnya satu kelompok mensabotase pertemuan penting yang diadakan kelompok lainnya di sebuah gedung.

"Satu kelompok sedang rapat, tiba-tiba lampunya mati," kenang Budi.

Saya tergelak. Lalu ada juga cerita yang beredar bahwa saat kubu GMNI menggelar pesta gila-gilaan semalam suntuk, kubu HMI mematikan sambungan listrik dan para aktivis GMNI keluar dan bentroklah mereka dengan aktivis HMI yang lebih relijius dan tentunya tak suka dengan kegiatan hedonis semacam itu. Jadi, dari dulu persengketaan semacam ini sudah ada dari dulu kala.

Setelah tampil di panggung dalam acara yang diadakan oleh Yayasan Lontar Minggu sore, tiba-tiba Budi duduk mendekati saya dan bertanya apakah saya sebagai orang Kudus masih ingat kawasan Sleko di kota kretek itu.

Saya justru bertanya kembali pada si penanya,"Bagaimana pak Budi tahu Sleko?" Di dalam benak, saya mencoba keras mengingat kembali lokasi Sleko. Sungguh, ingatan itu hampir pudar. Saya hanya ingat orang tua dan semua orang di sekitar saya pernah mengatakan nama itu berkali-kali.

Dan sebelum saya bisa menyadari betapa rendah hatinya pengarang yang juga dosen ini, saya disodorinya sebuah ponsel pintar layar colek keluaran negeri ginseng. Ukuran hurufnya besar, sesuai untuk Budi agar lebih mudah membaca isi pesan pendek atau mengetik.

Budi menyuruh saya mengetik nama di ponselnya itu dengan satu syarat unik: "Ketik 'Kudus' baru nama kamu ya." Saya paham itu caranya memudahkan mencari nama saya di kontak ponselnya agar saat ia berkunjung ke Kudus, ia bisa mencari saya.

Saya merasa sebagai anak muda yang kurang ajar karena tidak meminta nomor ponsel atau alamat surelnya lebih dulu. Bagaimana bisa ia yang lebih tua tidak segan meminta kontak saya yang lebih muda, yang kiprahnya tak ada apa-apanya?

Saya tahu sebagian besar orang, terutama yang sudah termasyhur, akan menganggap meminta detail kontak sebagai sebuah permintaan untuk menjalin hubungan kembali setelah itu. Dan saat saya sibuk mengetik nama dan nomor ponsel saya, Budi dihampiri seorang pemuda dari Kupang.

Ia ikut program residensi Asean Literary Festival tahun ini dan tinggal di kampung Muara di Jakarta Utara. "Papa orang Flores, mama orang Timor," sayup sayup si pemuda menjelaskan asal muasalnya berada di dunia ini dan Budi meladeninya sembari menggoreskan pena. Sebuah tandatangan tertoreh di halaman pertama buku karya Budi yang baru saja dibeli si penggemar belia. Sejurus kemudian, Budi terlibat dalam obrolan dengannya.

Takut mengganggu waktu jeda Budi, pemuda itu beringsut pamit dan berterima kasih. Rampung juga saya mengetikkan detail kontak saya. Saya kembalikan ponsel itu padanya dan ia kembali menikmati kudapannya. Saat saya tanya kegiatan selanjutnya, Budi cuma berkata akan menyimak diskusi selanjutnya di ruangan yang sama.

Dua kali saya saksikan ia berinteraksi dengan para penggemar mudanya yang jumlahnya tidak seberapa. Di hari sebelumnya, saya saksikan Budi dihampiri tiba-tiba oleh seorang anak muda saat kami duduk di selasar Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Saya lirik satu dua orang yang mengenali Budi Darma tetapi memutuskan untuk mengamatinya saja dari kejauhan.

Sementara itu, pemuda ini melangkahkan kakinya dari ujung ruangan sana dan memperkenalkan dirinya sebagai seorang penggemar Budi Darma sejak lama. Saya sudah mengamatinya juga. Ia duduk di lantai dan bersandar di dinding seberang.

Namanya Ilham, dari kota yang sekarang dibina Ridwan Kamil. Ia mengaku bekerja di sebuah portal berita daring terkemuka di negeri ini. Lain dari saya yang membiarkan Budi larut dalam benaknya, Ilham mengajak idolanya bertanya jawab perkara sastra Indonesia dan para pembaca muda.

Motivator Sastrawan Belia

Tanpa bermaksud menguping, saya simak percakapan itu. Terhadap pertanyaan Ilham yang berkenaan dengan pandangan Budi terhadap para pengarang muda, si tokoh sastra menunjukkan optimismenya. Budi yakin Indonesia tidak akan fakir sastrawan, baik masa kini atau datang. Ia paham bahwa saat ini anak-anak muda yang menggebu-gebu menulis harus rela berbagi ruang dengan penulis-penulis yang seusia ayah dan kakek mereka.

Karenanya ia sangat paham media-media besar dan konvensional masih memberikan saluran untuk berkreasi yang terbatas bagi anak-anak muda.

Belum lagi dengan fenomena senjakala di dunia media cetak. Satu persatu majalah dan surat kabar besar gulung tikar, ambruk, tidak kuasa bertahan dari gempuran media baru.

"Jadi salah satu jalan keluar ya melalui blog itu. Sayangnya, blog itu tidak ada yang mengawasi. Kalau kita menulis di koran dan majalah kan ada redaksi yang menyeleksi. Kalau di blog, tidak ada. Seleksi terletak di diri sendiri.

Ilham lagi-lagi bertanya. Kali ini soal idealisme penulis. Topik yang klasik.

Budi menjelaskan panjang lebar bahwa para penulis saat ini sudah selangkah lebih maju karena menulis bukan cuma berbekal penghayatan sebagaimana yang dilakukan generasi pendahulu, tetapi juga melaksanakan penelitian sebelumnya. Sehingga tidak heran jika hasil penulisan akan lebih meyakinkan dan akurat meskipun itu karya fiksi sekalipun. Ia mengambil novel "Maryam" karya Okky Madasari sebagai contoh.

Novel itu katanya dibuat dengan berdasarkan pada penelitian di Lombok. Novel Okky yang berjudul "Pasung Jiwa" juga ditulis berdasarkan pada berbagai litaratur yang membahas kasus Marsinah. Autentisitas, menurut Budi, makin dianggap penting oleh pembaca kontemporer. "Jika di novel demikian, apakah betul juga begitu di dunia nyata?"

Budi membandingkan dengan karya-karya sastra keluaran dekade 1930-an. Kata Budi, saat itu hanya satu orang yang sepengetahuannya mengadakan penelitian untuk mendukung proses menulis karya sastra.

Novel "Pacar Merah" karya Matu Mona didasarkan pada perjalanan hidup Tan Malaka. Matu Mona menyengajakan diri mensurvei Singapura untuk bisa merasakan bagaimana kehidupan Tan Malaka di sana saat menyusun pemikiran-pemikiran pentingnya.

Dosa-dosanya sebagai Pengarang

Budi Darma agak kepayahan meniti tangga malam itu. Badannya agak membungkuk dan langkah kakinya lambat. Maklum usianya tak muda lagi. Akan tetapi, untuk standar manusia tujuh sembilan tahun di zaman modern, sastrawan ini terbilang bugar.

Di tengah panggung yang megah di Teater Kecil itu, sebuah mimbar telah disediakan baginya untuk mengucapkan sekapur sirih mengenai penghargaan yang dianugerahkan padanya hari itu.

Budi memberikan apresiasi bagi kegigihan para penyelenggara Asean Literary Festival 2016 yang dipimpin Okky Madasari yang dianggap Budi berhasil menghelat dengan baik walaupun ada pihak yang menyatakan perlawanan.

"Karena yang diperjuangkan oleh festival ini adalah kebenaran, akhirnya semua bisa berjalan dengan baik...," ujar penulis kelahiran kota Kartini, Rembang, ini pada kami yang hadir dalam malam penutupan ajang yang berlangsung selama empat hari di tengah bulan Mei ini.

Sebelum bertemu dengannya saya sudah mendengar betapa rendah hatinya pria satu ini meskipun ia sebetulnya memiliki banyak hal yang bisa saja ia banggakan sebagai seorang pegiat sastra Indonesia yang sudah malang melintang dari berpuluh-puluh tahun lalu sebelum generasi milennial seperti saya lahir.

"Saya tidak sepatutnya mendapat penghormatan," kata Budi yang merasa bahwa dirinya belum seberapa dibandingkan dengan banyak rekannya yang lain dalam dunia sastra. "Mungkin mbak Okky Madasari memberikan penghormatan pada saya karena saya sudah tua."

Ucapannya disambut gelak lirih dari hadirin yang kebanyakan berusia jauh lebih muda darinya yang mungkin hanya sedikit saja yang mengenal, dan lebih sedikit lagi yang sempat membaca karya-karyanya bahkan menjadikannya sebagai idola sastrawi mereka.

Ini bukan asumsi belaka karena menurut temuan Agus Nur yang mengatakan dari hasil survei kecilnya tentang sepuluh penulis Indonesia terbaik pada 200 orang pembaca muda saat ini, mereka sudah tidak lagi mengenali sastrawan Indonesia seangkatan Budi Darma.

Dan karena itulah, dirinya merasa sudah saatnya buku-buku sastrawan Indonesia harus diterbitkan ulang agar bisa menjangkau para pembaca muda sastra Indonesia.

Agus sendiri yakin bahwa para pembaca muda ini bukannya tidak peduli pada karya-karya lama itu tetapi karena pasokan buku-buku karya pengarang seperti Budi Darma itu sudah begitu langka. Jadi, daripada salah menyalahkan, ia lebih memilih untuk menempuh solusi untuk menerbitkan ulang.

Namanya sendiri sudah mencerminkan kerendahhatian itu. Nama Budi di Indonesia adalah jenis nama yang semerakyat John di dunia Anglosakson.

Di kerumunan, kita tidak akan bisa dengan mudah mengenali Budi karena ia begitu pendiam. Ia mirip seperti gong, yang baru berbunyi setelah dipukul, diumpani dengan aksi tertentu. Ia tidak bisa berbunyi dengan sendirinya.

Sebagai sastrawan kampiun dengan segudang pengalaman, Budi juga memberikan wejangan berdasarkan pada kesalahan-kesalahannya di masa lalu yang perlu dihindari oleh para sastrawan penerusnya.

"Kesalahan saya adalah kalau saya menulis, saya tidak memiliki niat untuk menerbitkan tulisan tersebut," ia berpesan.

Kemudian Budi mengenang saat awal mula ia dalam proses menulis Orang-orang Bloomington, karyanya yang diterbitkan ulang. Agus Nur bahkan mengklaim buku kumpulan cerpen Budi Darma itu sebagai salah satu buku kumpulan cerpen yang patut dibaca oleh pembaca karya sastra kita tanpa peduli era.

Begitu rampung menulis, ia kirimkan naskahnya ke redaksi majalah Horison kemudian ia diminta Satya Graha Urip agar naskah itu bisa diterbitkan menjadi buku.

Setelah sekian lama stoknya habis, Budi juga tidak memiliki niat untuk menerbitkan ulang. Lalu datanglah Richard Oh yang meminta penerbitan ulang "Orang-orang Bloomington".

Tak disangka-sangka, penerbit Metafor yang menangani karyanya itu ambruk. Tetap Budi bergeming, tak ingin menerbitkannya. Penerbit Noura kemudian berinisiatif menerbitkan kembali karyanya sekarang.

Budi menyambut baik tawaran itu dan menganggap bahwa keacuhannya pada karya miliknya itu bukan teladan yang baik bagi para sastrawan yang lebih muda. Ia ingin agar sastrawan-sastrawan sekarang tak semalas dirinya dalam menerbitkan. "Generasi muda harus lebih agresif, lebih aktif dalam mencari pemasaran, penerbitan, dan sebagainya."

Kesalahan lain Budi Darma sebagai pengarang ialah dirinya tidak menulis secara rutin. Jika ia tidak sedang bersemangat, ia tidak menulis sama sekali seperti sekarang. Justru memlihat anak-anak muda saat ini yang menggebu-gebu dalam menulis, ia merasa optimis dan bangga.

Mendengar alasan pemberian anugerah penghormatan baginya dari Okky yang mengklaim Budi Darma memiliki pengaruh bagi generasi selanjutnya, Budi sendiri menampiknya. "... (B)ahwa karya saya memiliki pengaruh atau inspirasi pada generasi-generasi lebih muda, saya terus terang meragukannya," sang pengarang berterus terang. Kata-katanya begitu penuh 'unggah ungguh', merendahkan dirinya sedemikian rupa yang sangat khas Jawa, yakni selalu merasa belum sempurna dan masih memiliki banyak cela yang tidak bisa dibanggakan.

Dengan penuh optimisme, Budi memiliki pengharapan sederhana bahwa generasi muda akan lebih baik daripada generasi sebelumnya. Ini bukan tanpa alasan karena menurut pengamatannya selama ini terhadap perkembangan sastra Indonesia, ada karya-karya sastra yang baik yang dihasilkan oleh anak-anak muda.

Lebih lanjut Budi menyoroti pentingnya bagi para seniman kata untuk menjaga keseimbangan antara privasi saat berkarya dan bersosialisasi seperti yang dilakukan dalam sebuah festival sastra. 

agi Budi, pengarang harus menulis dengan konsentrasi penuh tanpa gangguan. Akan tetapi, di samping itu mereka juga harus "bertatap muka, mengenal dan saling mempelajari", sabda sang pengarang.

Budi memberikan saran agar dalam meninjau dan mengulas sastra Indonesia, kita sebaiknya tidak hanya berpatokan pada Jakarta sebagai pusat sastra Indonesia. Dengan kata lain, jangan mempersempit cakupan sastra Indonesia menjadi hanya Jakarta.

Jakarta bukan kiblat satu-satunya. Sebuah karya sastra hendaknya masih dianggap karya sastra Indonesia yang patut diulas dan diapresiasi meskipun tidak dikirim ke Jakarta.

Bagaimana dengan karya-karya sastra yang tidak sampai ke Jakarta, tidak dipublikasikan di media-media cetak ibukota? Apakah semua karya itu serta merta dibuang dari khasanah sastra kita? Budi berharap tidak demikian.

"Semua pengarang di daerah yang tidak mengirimkan karyanya ke Jakarta, yang tidak mengirimkan karya-karyanya ke majalah-majalah asuhan bapak H. B. Jassin, itu tidak masuk ke dalam sejarah sama sekali. Padahal kalau kita mau menelusur, karya mereka ada juga yang baik," Budi menegaskan sikap kontranya terhadap pemikiran sentralisasi dalam sastra Indonesia yang ia rasakan masih ada meskipun zaman sudah semodern sekarang dan otonomi sudah merasuk ke berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia. (*/ @akhliswrites)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun