Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengenang Budi Darma dan Wejangan-wejangannya

21 Agustus 2021   09:44 Diperbarui: 21 Agustus 2021   15:03 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastrawan dan Akademisi Budi Darma | Kompas.id

Pergolakan politik Indonesia di awal tahun 1960-an hampir mencapai titik klimaks. Efeknya terasa hingga ke dunia akademis yang menjadi tambatan Budi yang juga turut berguncang hebat. "Waktu itu tahun 60... Saya jadi sekretaris dewan nasional, kalau sekarang namanya BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).

Saya sering sekali melihat orang berkelahi dan menangani orang berkelahi, yaitu orang GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia -- cikal bakal PDI Perjuangan, menurut Budi), CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Mereka sering bentrok."

Apalagi sesudah ia lulus, kekerapan perkelahian fisik makin tak terbendung. Budi lulus dari UGM tahun 1963. Dua tahun kemudian, kondisi memburuk.

Tindakan saling teror itu sebetulnya sangat kekanak-kanakan. Budi menyebut seringnya satu kelompok mensabotase pertemuan penting yang diadakan kelompok lainnya di sebuah gedung.

"Satu kelompok sedang rapat, tiba-tiba lampunya mati," kenang Budi.

Saya tergelak. Lalu ada juga cerita yang beredar bahwa saat kubu GMNI menggelar pesta gila-gilaan semalam suntuk, kubu HMI mematikan sambungan listrik dan para aktivis GMNI keluar dan bentroklah mereka dengan aktivis HMI yang lebih relijius dan tentunya tak suka dengan kegiatan hedonis semacam itu. Jadi, dari dulu persengketaan semacam ini sudah ada dari dulu kala.

Setelah tampil di panggung dalam acara yang diadakan oleh Yayasan Lontar Minggu sore, tiba-tiba Budi duduk mendekati saya dan bertanya apakah saya sebagai orang Kudus masih ingat kawasan Sleko di kota kretek itu.

Saya justru bertanya kembali pada si penanya,"Bagaimana pak Budi tahu Sleko?" Di dalam benak, saya mencoba keras mengingat kembali lokasi Sleko. Sungguh, ingatan itu hampir pudar. Saya hanya ingat orang tua dan semua orang di sekitar saya pernah mengatakan nama itu berkali-kali.

Dan sebelum saya bisa menyadari betapa rendah hatinya pengarang yang juga dosen ini, saya disodorinya sebuah ponsel pintar layar colek keluaran negeri ginseng. Ukuran hurufnya besar, sesuai untuk Budi agar lebih mudah membaca isi pesan pendek atau mengetik.

Budi menyuruh saya mengetik nama di ponselnya itu dengan satu syarat unik: "Ketik 'Kudus' baru nama kamu ya." Saya paham itu caranya memudahkan mencari nama saya di kontak ponselnya agar saat ia berkunjung ke Kudus, ia bisa mencari saya.

Saya merasa sebagai anak muda yang kurang ajar karena tidak meminta nomor ponsel atau alamat surelnya lebih dulu. Bagaimana bisa ia yang lebih tua tidak segan meminta kontak saya yang lebih muda, yang kiprahnya tak ada apa-apanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun