Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengenang Budi Darma dan Wejangan-wejangannya

21 Agustus 2021   09:44 Diperbarui: 21 Agustus 2021   15:03 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastrawan dan Akademisi Budi Darma | Kompas.id

Saya tahu sebagian besar orang, terutama yang sudah termasyhur, akan menganggap meminta detail kontak sebagai sebuah permintaan untuk menjalin hubungan kembali setelah itu. Dan saat saya sibuk mengetik nama dan nomor ponsel saya, Budi dihampiri seorang pemuda dari Kupang.

Ia ikut program residensi Asean Literary Festival tahun ini dan tinggal di kampung Muara di Jakarta Utara. "Papa orang Flores, mama orang Timor," sayup sayup si pemuda menjelaskan asal muasalnya berada di dunia ini dan Budi meladeninya sembari menggoreskan pena. Sebuah tandatangan tertoreh di halaman pertama buku karya Budi yang baru saja dibeli si penggemar belia. Sejurus kemudian, Budi terlibat dalam obrolan dengannya.

Takut mengganggu waktu jeda Budi, pemuda itu beringsut pamit dan berterima kasih. Rampung juga saya mengetikkan detail kontak saya. Saya kembalikan ponsel itu padanya dan ia kembali menikmati kudapannya. Saat saya tanya kegiatan selanjutnya, Budi cuma berkata akan menyimak diskusi selanjutnya di ruangan yang sama.

Dua kali saya saksikan ia berinteraksi dengan para penggemar mudanya yang jumlahnya tidak seberapa. Di hari sebelumnya, saya saksikan Budi dihampiri tiba-tiba oleh seorang anak muda saat kami duduk di selasar Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Saya lirik satu dua orang yang mengenali Budi Darma tetapi memutuskan untuk mengamatinya saja dari kejauhan.

Sementara itu, pemuda ini melangkahkan kakinya dari ujung ruangan sana dan memperkenalkan dirinya sebagai seorang penggemar Budi Darma sejak lama. Saya sudah mengamatinya juga. Ia duduk di lantai dan bersandar di dinding seberang.

Namanya Ilham, dari kota yang sekarang dibina Ridwan Kamil. Ia mengaku bekerja di sebuah portal berita daring terkemuka di negeri ini. Lain dari saya yang membiarkan Budi larut dalam benaknya, Ilham mengajak idolanya bertanya jawab perkara sastra Indonesia dan para pembaca muda.

Motivator Sastrawan Belia

Tanpa bermaksud menguping, saya simak percakapan itu. Terhadap pertanyaan Ilham yang berkenaan dengan pandangan Budi terhadap para pengarang muda, si tokoh sastra menunjukkan optimismenya. Budi yakin Indonesia tidak akan fakir sastrawan, baik masa kini atau datang. Ia paham bahwa saat ini anak-anak muda yang menggebu-gebu menulis harus rela berbagi ruang dengan penulis-penulis yang seusia ayah dan kakek mereka.

Karenanya ia sangat paham media-media besar dan konvensional masih memberikan saluran untuk berkreasi yang terbatas bagi anak-anak muda.

Belum lagi dengan fenomena senjakala di dunia media cetak. Satu persatu majalah dan surat kabar besar gulung tikar, ambruk, tidak kuasa bertahan dari gempuran media baru.

"Jadi salah satu jalan keluar ya melalui blog itu. Sayangnya, blog itu tidak ada yang mengawasi. Kalau kita menulis di koran dan majalah kan ada redaksi yang menyeleksi. Kalau di blog, tidak ada. Seleksi terletak di diri sendiri.

Ilham lagi-lagi bertanya. Kali ini soal idealisme penulis. Topik yang klasik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun