Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengenang Budi Darma dan Wejangan-wejangannya

21 Agustus 2021   09:44 Diperbarui: 21 Agustus 2021   15:03 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastrawan dan Akademisi Budi Darma | Kompas.id

Budi menjelaskan panjang lebar bahwa para penulis saat ini sudah selangkah lebih maju karena menulis bukan cuma berbekal penghayatan sebagaimana yang dilakukan generasi pendahulu, tetapi juga melaksanakan penelitian sebelumnya. Sehingga tidak heran jika hasil penulisan akan lebih meyakinkan dan akurat meskipun itu karya fiksi sekalipun. Ia mengambil novel "Maryam" karya Okky Madasari sebagai contoh.

Novel itu katanya dibuat dengan berdasarkan pada penelitian di Lombok. Novel Okky yang berjudul "Pasung Jiwa" juga ditulis berdasarkan pada berbagai litaratur yang membahas kasus Marsinah. Autentisitas, menurut Budi, makin dianggap penting oleh pembaca kontemporer. "Jika di novel demikian, apakah betul juga begitu di dunia nyata?"

Budi membandingkan dengan karya-karya sastra keluaran dekade 1930-an. Kata Budi, saat itu hanya satu orang yang sepengetahuannya mengadakan penelitian untuk mendukung proses menulis karya sastra.

Novel "Pacar Merah" karya Matu Mona didasarkan pada perjalanan hidup Tan Malaka. Matu Mona menyengajakan diri mensurvei Singapura untuk bisa merasakan bagaimana kehidupan Tan Malaka di sana saat menyusun pemikiran-pemikiran pentingnya.

Dosa-dosanya sebagai Pengarang

Budi Darma agak kepayahan meniti tangga malam itu. Badannya agak membungkuk dan langkah kakinya lambat. Maklum usianya tak muda lagi. Akan tetapi, untuk standar manusia tujuh sembilan tahun di zaman modern, sastrawan ini terbilang bugar.

Di tengah panggung yang megah di Teater Kecil itu, sebuah mimbar telah disediakan baginya untuk mengucapkan sekapur sirih mengenai penghargaan yang dianugerahkan padanya hari itu.

Budi memberikan apresiasi bagi kegigihan para penyelenggara Asean Literary Festival 2016 yang dipimpin Okky Madasari yang dianggap Budi berhasil menghelat dengan baik walaupun ada pihak yang menyatakan perlawanan.

"Karena yang diperjuangkan oleh festival ini adalah kebenaran, akhirnya semua bisa berjalan dengan baik...," ujar penulis kelahiran kota Kartini, Rembang, ini pada kami yang hadir dalam malam penutupan ajang yang berlangsung selama empat hari di tengah bulan Mei ini.

Sebelum bertemu dengannya saya sudah mendengar betapa rendah hatinya pria satu ini meskipun ia sebetulnya memiliki banyak hal yang bisa saja ia banggakan sebagai seorang pegiat sastra Indonesia yang sudah malang melintang dari berpuluh-puluh tahun lalu sebelum generasi milennial seperti saya lahir.

"Saya tidak sepatutnya mendapat penghormatan," kata Budi yang merasa bahwa dirinya belum seberapa dibandingkan dengan banyak rekannya yang lain dalam dunia sastra. "Mungkin mbak Okky Madasari memberikan penghormatan pada saya karena saya sudah tua."

Ucapannya disambut gelak lirih dari hadirin yang kebanyakan berusia jauh lebih muda darinya yang mungkin hanya sedikit saja yang mengenal, dan lebih sedikit lagi yang sempat membaca karya-karyanya bahkan menjadikannya sebagai idola sastrawi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun