Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengenang Budi Darma dan Wejangan-wejangannya

21 Agustus 2021   09:44 Diperbarui: 21 Agustus 2021   15:03 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastrawan dan Akademisi Budi Darma | Kompas.id

Saya katakan asal saya tak jauh dari tempat kelahirannya itu, dan Budi terdiam sejenak, seakan menggali ingatan-ingatannya yang sudah terkubur mengenai Kudus dan kembali dengan sebundel memori. Ia berkata ia pernah beranjangsana ke kota kretek tempat saya dilahirkan.

Dari topik itu, percakapan tiba-tiba bergulir ke berbagai tema, dari Kudus Kulon versus Kudus Wetan. Saya katakan dinding-dinding pagar rumah warga keturunan di daerah Budi Darma berasal biasanya setinggi dua kali tinggi normal manusia. Ia mengangguk seketika. Saya pernah berkunjung ke sana menyaksikannya sendiri. "Sama seperti dinding-dinding pagar rumah orang Kudus Kulon juga, pak," tukas saya.

Budi mencap saya sebagai orang Kudus Kulon, karena rumah orang tua tempat saya dibesarkan ada di sisi barat ("kulon" adalah kata dalam bahasa Jawa untuk merujuk ke "barat") sungai Gelis. Saya kurang sepakat. Saya tidak pernah merasa demikian sebab setahu saya wilayah Kudus Kulon tidak mencakup rumah saya.

Kemudian kami mengobrol juga soal orang kaya dari Surabaya yang membeli banyak gebyok (ukiran kayu berpelitur) rumah tradisional khas Kudus yang tersohor dengan kerumitan pembuatannya dan harganya yang selangit.

Saya dengan bangga menceritakan sampai berbusa-busa mengenai ukiran Kudus. Dari Kyai The Ling Sing yang jago mengukir dan juru dakwah sampai ke ukiran kayu Kudus yang kata teman saya di Ubud bisa mencapai harga seperempat miliar rupiah.

Saya makin terkejut saat ia menyebut "rumah kapal" dalam pembicaraan. Rumah itu adalah bangunan milik pengusaha rokok di Kudus yang kebetulan hanya berjarak selemparan batu dari gedung sekolah dasar saya. Selama lima tahun saya berolahraga di sana sebagai siswa SD Muhammadiyah 1 Kudus.

Budi rupanya tahu bangunan itu saat ia berkeliling di kabupaten terkecil di Jawa Tengah ini. Ia menanyakan kabar rumah unik yang didesain mirip kapal itu.

Dan dengan nada sendu saya katakan rumah itu sudah tak terawat saat saya masih SD. Setelah 20 tahun lebih berselang, bangunan antik yang dibangun di masa kolonial itu saya saksikan sendiri sudah rata dengan tanah dan digantikan oleh bangunan komersial.

Mantan Aktivis 60-an

Setelah menerobos ke kenangan masa lalu saya, Budi mengajak saya larut dalam masa mudanya juga. Masa saat orang tua saya saja masih anak-anak. Ia mengenang masa mudanya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menurutnya saat ia masuk di era awal 1960-an masih carut marut.

Sebagaimana mahasiswa zaman sekarang, berkumpul tidak akan luput dari tema dosen-dosen yang menyebalkan. Dan ia masih ingat seorang dosen yang konon bergelar bangsawan namun 'raja tega' bagi para mahasiswanya. Bayangkan saja, dosen bangsawan itu membiarkan seorang mahasiswa harus menunggu selama sembilan bulan lamanya demi keluarnya nilai sebuah mata kuliah agar ia bisa diwisuda.

Begitu nilai itu keluar, ternyata tidak lulus sehingga si mahasiswa naas harus mengulang lagi dan tidak bisa segera meninggalkan kampus. Apakah mahasiswa itu teman dekat Budi atau dirinya sendiri? Entahlah. Itu masih menjadi misteri. Saya tak punya nyali menanyakan lebih lanjut karena takut dianggap lancang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun