Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bahaya Konsumsi Berlebihan Suplemen Tinggi Protein

13 Mei 2019   17:49 Diperbarui: 20 April 2021   12:38 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suplemen tinggi protein (Thinkstockphotos)

Dengan makin merebaknya pusat kebugaran, tren six pack alias "roti sobek", dan budaya nge-gym di kalangan anak muda urban di kota-kota besar di Indonesia, rasanya lumrah bagi para pria yang ingin berbadan lebih kekar dan berotot untuk mengonsumsi suplemen makanan dengan kandungan protein tinggi.

Merebaknya sindrom Adonis/bigorexia (keinginan untuk terus menerus membesarkan otot-otot di tubuh) yang akhir-akhir ini makin terasa, juga mendorong berlomba-lombanya produsen menjual produk-produk suplemen yang menyasar pria-pria muda terutama yang sangat ingin tampil lebih gagah, tegap dan kekar bak Arnold Schwarzenegger dan Sylvester Stallone. 

Di Asia sendiri, konsep maskulinitas ala Adonis ini semula terasa asing. Dulu, laki-laki Asia biasanya mengidolakan pria-pria yang kuat dan berotot tapi dengan proporsi fisik yang sedang, tidak berlebihan ukuran ototnya. 

Lihat saja Bruce Lee, Amitabh Bachan atau jika di Indonesia Onky Alexander. Cuma karena pengaruh budaya Barat makin kencang, akhirnya makin banyak pria Asia yang menginginkan tubuh mereka lebih kekar dan besar.

Ilustrasi pria yang berbadan kekar dan berotot (Foto: Wikimedia Commons)
Ilustrasi pria yang berbadan kekar dan berotot (Foto: Wikimedia Commons)
Produk-produk suplemen berprotein tinggi ini yang populer di antara para penggemar olahraga misalnya susu whey, bubuk protein, protein shakes, protein drink, protein bar, dan sebagainya.

Namun, sebagai konsumen, pernahkah kita bertanya secara kritis: Apakah memang konsumsi suplemen sejenis itu diperlukan tubuh?

Ternyata tidak juga lho!

Meskipun memang ditujukan untuk mendukung program peningkatan massa otot (muscle mass), ilmuwan tidak menyarankan kita untuk mengonsumsinya secara terus menerus. Dalam jangka panjang, konsumsi berlebihan suplemen semacam ini akan berdampak negatif pada kesehatan, bahkan mengurangi umur!

Dalam sebuah studi ilmiah yang dilakukan di University of Sydney Charles Perkins Centre, ditemukan bahwa konsumsi asam amino tambahan yang wujudnya bermacam-macam di pasaran ini bisa memicu gangguan kesehatan bila konsumsinya terlalu berlebihan.

Di samping manfaat yang digembor-gemborkan, efek samping yang tak banyak diketahui orang dari suplemen protein yang mengandung asam amino (BCAAs) ialah mempengaruhi suasana hati (mood) dan memicu kenaikan berat badan. BCAAs memang jitu menggenjot massa otot. Hanya saja, semua itu ada ongkos yang harus ditanggung konsumennya.

Peneliti menganalisis peran kompleks pola makan dan dampaknya pada beragam aspek kesehatan seperti metabolisme, reproduksi, nafsu makan dan penuaan.

Dalam percobaan, tikus-tikus laboratorium diberi asupan BCAAs dan tryptophan (yang bisa memicu serotonin, hormon yang membantu tidur nyenyak) dalam dosis berbeda-beda. 

Ada kelompok tikus yang diberi dosis dua kali lipat dari semestinya (200%), ada yang standar (100%), ada yang cuma separuh (50%) dan cuma seperlima (20%). Kemudian kesehatan tikus-tikus ini dipantau dan dibandingkan. 

Hasilnya, tikus-tikus dengan asupan suplemen dua kali lipat dari yang normal (200%) memiliki masalah obesitas dan jangka hidup lebih pendek.

Dari penelitian tersebut, disimpulkan bahwa jenis asupan yang tinggi protein namun rendah karbohidrat bermanfaat bagi fungsi reproduksi. Namun, jenis diet semacam itu berdampak buruk bagi kesehatan di usia senja dan juga mempercepat kematian.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari sini ialah keseimbangan itu mutlak. Karena hakikat kesehatan sendiri ialah keseimbangan. Terjadinya penyakit biasanya dipicu oleh ketidakseimbangan entah itu oleh faktor internal atau eksternal atau kombinasi keduanya.

Sebelum Anda memutuskan untuk memilih suplemen, amati dulu pola makan dan jenis asupan. Jika dari asupan sehari-hari saja (tanpa suplemen tinggi protein), sekiranya jumalh kebutuhan protein sudah tercukupi, lebih baik hemat uang Anda untuk tidak membeli suplemen lagi.

Pakar gizi dari University of Sydney School of Life and Environmental Sciences sendiri menyarankan agar kita tidak cuma mengandalkan asupan protein dari satu jenis bahan makanan. 

Idealnya, kita bisa mendapatkan protein dari beragam bahan makanan agar tubuh tetap bisa menyerap nutrisi lainnya juga, seperti vitamin, mineral dan serat yang berguna bagi kelancaran pencernaan kita. Bukan cuma melulu protein. 

Alih-alih mengandalkan asupan sumplemen protein buatan pabrik ini, Anda sebetulnya bisa mengandalkan asupan alami. 

Caranya, cukup variasikanlah bahan makanan Anda. Misalnya, untuk mendapatkan asupan BCAAs, Anda bisa mengonsumsi daging merah dan produk susu secukupnya. Daging ayam, kalkun, keju, ikan dan telur juga bisa dikonsumsi bergantian sebagai sumber BCAAs. 

Berpantang daging tapi tetap ingin menaikkan massa otot? Jangan cemas, karena Anda juga bisa mendapatkan protein dari kacang-kacangan, lentil, biji-bijian, dan kedelai. 

Agar tetap sehat dan massa otot meningkat, konsumsilah semua bahan makanan di atas secara bergantian. Selain agar tidak bosan, juga agar keseimbangan nutrisi dalam tubuh juga terjaga. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun