"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."
- Tan Malaka, Madilog.
Apa itu pendidikan bermutu? Apakah 'bermutu' sudah tercapai hari ini? Apakah generasi saat ini dan mendatang siap hadapi tantangan abad 21? Pertanyaan ini muncul setelah saya membaca chapter pertama dari buku 'Think and Grow Rich'. Kita cenderung mendiskreditkan fungsi dari pendidikan jika menghubungkan dengan 'uang' atau 'kekayaan'.
Padahal, hakikat pendidikan sejatinya adalah proses untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidaktahuan, kemiskinan nalar, dan ketertindasan. Bukan semata-mata mencetak pegawai atau mengejar nilai rapor yang tinggi.
Untuk menjawab kegelisahan tentang mutu ini, kita perlu merenungkan kembali tujuan fundamental pendidikan, sebuah refleksi yang sangat selaras dengan pemikiran revolusioner Tan Malaka dalam bukunya, Madilog (Materialisme Dialektika Logika). Sudahkah Anda membaca buku ini?
Baca juga: Apa Iya Kalau Pintar Itu Pasti Kaya? Ini Pentingnya Pendidikan Bermutu
Logika Pendidikan yang Membebaskan
Dalam Madilog, Tan Malaka menekankan pentingnya nalar kritis dan pembebasan (emansipatoris). Pendidikan, menurutnya, haruslah bersifat kerakyatan, tidak elitis, dan tidak bertujuan untuk mencetak state apparatus kolonial atau sekadar juru tulis. Sebaliknya, pendidikan harus memberikan kecakapan, menumbuhkan kesukaan, dan bermanfaat untuk orang yang lebih lemah.
1. Pendidikan memberikan kecakapan
Pendidikan membekali murid dengan senjata cukup untuk mencari penghidupan di dunia yang kompetitif. Ini mencakup berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, dan keterampilan praktis. Ini adalah basis material yang harus dipenuhi agar manusia tidak mudah tertindas.
2. Menumbuhkan kesukaan
Pendidikan memberi hak murid untuk menikmati masa hidupnya, mengembangkan bakat, dan belajar berorganisasi melalui pergaulan. Ini adalah dimensi dialektika, membangun kesadaran kolektif.
3. Bermanfaat untuk orang yang lebih lemah
Pendidikan mengarahkan kesadaran sosial agar murid kelak memiliki tanggung jawab untuk menolong dan mengangkat derajat rakyat banyak, kaum yang tertindas. Ini adalah puncak logika dimana pengetahuan harus membawa manfaat transformatif bagi masyarakat.
Logika Tan Malaka, yang ia praktikkan di Sekolah Rakyatnya, menolak keras kebiasaan menghafal tanpa pemahaman, yang dianggapnya membodohkan dan menjadikan manusia mekanis. Ilmu pengetahuan harus terbentur-bentur dan terbentuk melalui dialektika antara teori dan praktik, antara pengetahuan dan realitas sosial.
Jika pendidikan hari ini hanya berorientasi pada nilai-nilai yang terpisah dari realitas kehidupan dan tidak menumbuhkan nalar kritis serta kesadaran sosial, maka pendidikan itu belum bermutu dalam arti yang sesungguhnya. Inilah yang mendasari mengapa sinergi ketiga pilar pendidikan---Guru, Murid, dan Orang Tua---menjadi krusial.
Baca juga: Kekuatan Pikiran dari Sebuah Kemungkinan
Tiga Pilar Pendidikan Bermutu
Pendidikan yang ideal tidak bisa dibebankan hanya di pundak guru atau sekolah semata. Ia adalah sebuah kerja kolektif yang memerlukan interaksi dinamis antara tiga subjek utama.
1. Guru: Sang Pendamping dan Pembentuk Nalar
Guru bukan lagi sumber tunggal pengetahuan, melainkan fasilitator dan pembimbing yang menuntun murid. Mengacu pada filosofi Tan Malaka, guru harus membentuk nalar kritis, mengembangkan potensi, dan menjadi teladan.
- Guru mendorong murid untuk bertanya, menguji kebenaran, dan tidak hanya menghafal. Guru menciptakan ruang di mana perdebatan dan analisis logis dihargai.
Guru menyadari perannya untuk membimbing dan mengembangkan potensi unik tersebut, bukan memaksakan standar seragam.
Guru mengintegrasikan pelajaran dengan kesadaran sosial, mempraktikkan ajaran bahwa ilmu itu untuk membebaskan, bukan untuk menindas.
2. Murid: Subjek Aktif dan Pembelajar Mandiri
Murid harus diposisikan sebagai subjek aktif dalam proses belajar, bukan sekadar objek pasif yang diisi. Kemerdekaan belajar adalah inti dari filosofi Tan Malaka.
- Murid memiliki kebebasan Intelektual untuk bebas memperoleh ilmu pengetahuan yang diminati, dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Mereka harus berani mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas proses belajarnya.
- Murid belajar bersosialisasi, berorganisasi, dan berempati untuk membentuk karakter yang tangguh, bertanggung jawab, dan peduli terhadap lingkungan.
- Murid harus melihat bahwa pengetahuan yang didapatkannya memiliki manfaat aksi, bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
3. Orang Tua: Rumah sebagai Laboratorium Awal
Orang tua adalah guru pertama dan utama. Mereka bertanggung jawab menciptakan lingkungan rumah yang mendukung perkembangan karakter dan nalar anak, dimana orang tua bukan hanya tentang menyediakan meja belajar, tetapi juga suasana dialogis di mana pertanyaan anak dihargai dan kritik membangun diterima.
Orang tua adalah cermin pertama bagi anak dalam mengembangkan nilai-nilai etika, moral, dan tanggung jawab sosial. Konsistensi antara ucapan dan perbuatan di rumah menjadi fondasi terkuat. Karena perbuatan berbicara lebih keras dari omongan itu sendiri.
Orang tua juga harus aktif berkolaborasi dengan guru, menyamakan visi pendidikan, dan memastikan konsistensi pola asuh dan pola ajar.
Baca juga:Â Malas Mikir? Ternyata Sistem Otak Bekerja adalah Jawabannya
Jalan Menuju Sinergi Holistik
Sinergi sejati terjadi ketika ketiga pilar ini bekerja selaras, menolak sistem lama yang memisahkan mereka. Guru mentransfer ilmu dan etika kritis; Murid berdialektika dengan ilmu itu dan realitas; Orang Tua menyediakan basis material dan moral, sekaligus menjadi supporting system bagi proses belajar anak.
Tan Malaka memperingatkan: "Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."
Pernyataan ini adalah tamparan keras. Pendidikan bermutu sejati tidak menciptakan kaum terpelajar yang terpisah dari rakyat. Ia harus melahirkan manusia yang cerdas, berkeahlian, dan memiliki kesadaran kolektif yang kuat, siap membongkar tatanan yang tidak adil.
Sinergi yang optimal akan mewujudkan pendidikan yang:
- Materialistik: Anak memiliki keterampilan praktis untuk hidup mandiri.
- Dialektik: Anak memiliki nalar kritis, mampu berorganisasi, dan berinteraksi sosial.
- Logis: Semua pengetahuan diarahkan pada tujuan pembebasan dan kemajuan bangsa, memastikan generasi muda siap menghadapi tantangan abad ke-21 dengan karakter yang tangguh dan hati yang peduli.
Inilah janji pendidikan bermutu, bukan hanya menghasilkan kekayaan bagi individu, melainkan kesejahteraan yang merata dan kemuliaan bagi seluruh rakyat.Â
Sinergi Guru, Murid, dan Orang Tua adalah kunci untuk menunaikan janji itu. Mereka adalah tiga entitas yang harus menyatu, bergerak bersama menuju Indonesia Merdeka 100% dalam arti yang paling fundamental: merdeka dari kebodohan, merdeka dari ketidakadilan, dan merdeka dalam berpenghidupan.
Referensi:
- Buku Madilog, Tan Malaka.
- https://www.gramedia.com/best-seller/quotes-tan-malaka/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI