Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karena Tulisan Bagus Saja Tak Cukup

6 Desember 2018   17:40 Diperbarui: 6 Desember 2018   18:54 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: videobanhang.com

Tak jarang sebuah karya fiksi ditulis dalam jangka waktu lama, dan diedarkan setelah melewati kurun waktu panjang sesudah manuskrip diselesaikan. Tak ada buku fiksi, terutama novel, yang mulai ditulis hari ini dengan target sudah harus ada di toko buku bulan depan---kecuali novel-novel tie-in dengan film yang diproduksi secara kilat karena mengikuti jadwal edar filmnya.

Seandainyapun bisa, hasilnya tak akan maksimal. Itu sebabnya mayoritas novel tie-in dengan film pasti berkategori semenjana--bahkan buruk--karena hanya dikerjakan selama 4-5 hari dan langsung segera dimasukkan percetakan secepat mungkin. Hasil cetakannya pun kadang menyedihkan pula. Baru saja dibeli, lemnya memudar dan semua kertasnya terlepas dari kover!

Tulisan nonfiksi bisa dikejar secepat mungkin, namun tulisan seni tak bisa dibuat dengan pendekatan serupa. Nanti pasti akan lebih terasa seperti barang dagangan dan bukan karya seni. Saat penulis medsos bertulisan bagus itu ingin berkarier menulis buku fiksi, ia harus mudeng bahwa yang ia kerjakan saat ini selayanya memang akan menempuh waktu yang tidak singkat dalam penggarapan.

Kedua, kita tidak bisa memasang ekspektasi terlalu tinggi pada buku pertama. Adalah sangat wajar kita idealis, ingin melahirkan buku yang "pembaca tak hanya baca cerita, namun juga mendapatkan sesuablablablah", atau buku pertama itu langsung best seller (lalu difilmkan) dan memberi impact yang nyata pada kebudayaan seperti Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata.

Sayang dunia nyata tak bekerja seindah itu. Pada satu judul buku best seller akan terdapat sejuta judul yang biasa-biasa saja dan menghasilkan dampak yang juga standar-standar saja. Semua penulis harus mengantisipasi ini. Jika tidak, kita akan tetap saja mengalami hal buruk entah ekspektasi tinggi tersebut jadi nyata atau tidak.

Jika buku pertama itu langsung berdampak sosial budaya tinggi dan sekaligus juga best seller, sang penulis akan mengalami semacam hangover saat akan menuliskan buku kedua. Harapan yang muncul tentu adalah bahwa buku itu lebih bagus daripada buku pertama. Namun jika kita sudah telanjur mengerahkan seluruh kemampuan terbaik pada judul pertama, kemampuan lebih baik mana lagi yang harus digunakan untuk karya berikut?

Kita akan pusing duluan memikirkan ini. Dan karena terlalu keras berpikir, ujung-ujungnya malah naskah kedua tak segera selesai-selesai karena telanjur memasang ekspektasi dan standar yang kelewat tinggi.

Harapan jadi nyata saja menghasilkan dampak buruk, apalagi jika yang terjadi adalah sebaliknya. Buku kita berdampak biasa saja padahal kita merasa sudah mengeluarkan segala yang terbaik. Ini fatal. Jika mental belum terdidik sebagai penulis sejati, bisa saja kita patah arang dan kehilangan motivasi untuk menulis.

Dan aspek krusial ketiga adalah yang tersulit di antara segala. Apa itu? Kita harus berlatih untuk diam dan tidak membantah dalam sebuah diskusi atau perdebatan sekalipun kita yakin---atau bahkan tahu persis---bahwa kita sedang berada di pihak yang benar. Kemampuan ini berguna saat buku kita nanti sudah melanglah buana ke dunia luas dan dibaca ratusan atau ribuan orang.

Sekadar informasi saja, rimba belantara di luar sana bisa sangat kejam dan telengas. Sekalipun kita merasa tulisan kita sudah bagus, pengkritik dan orang yang tidak satu selera akan selalu ada. Mereka beredar di Goodreads dan blog-blog pribadi lewat berbagai resensi amatir, tak jarang dengan bahasa yang sangat telanjang. Jika kita masih selalu berhasrat untuk berargumen, waktu dan energi hidup akan habis hanya untuk ngurusin semua ulasan tersebut satu demi satu---membantah, menjelaskan, mengklarifikasi. Terus nulisnya kapan?

Memang jika kita kaji lebih jauh, profesi sebagai penulis fiksi unik karena sisi-sisi mental justru lebih berperan untuk meningkatkan skill daripada urusan pendalaman teknis dan jam terbang. Maka sekadar bisa nulis bagus (di medsos) saja tak pernah cukup. Banyak hal genting harus digali lebih dulu sebelum memutuskan untuk terjun sebagai penulis permanen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun