Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang seharusnya mengakhiri praktik otoritarianisme di Indonesia. Rakyat bersatu, mahasiswa menjadi ujung tombak, dan suara “reformasi” menggema hingga menggulingkan rezim yang menindas. Harapan kita saat itu sederhana: negara yang berdaulat atas nama rakyat, lembaga politik yang transparan, aparat keamanan yang humanis. Namun, lebih dari dua dekade setelahnya, janji itu masih jauh dari kenyataan.
Kini, sekali lagi rakyat dipaksa turun ke jalan. Pada tanggal 28, demonstrasi besar-besaran pecah di berbagai daerah Indonesia. Pemicunya begitu telanjang: kenaikan tunjangan DPR yang dianggap sebagai bentuk pengkhianatan di tengah krisis ekonomi. Ketika rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok, harga bahan pokok melonjak, lapangan kerja semakin sempit, justru para “wakil rakyat” berlomba menambah fasilitas dan kenyamanan mereka sendiri. Apa gunanya demokrasi bila yang dipilih rakyat hanya sibuk memperkaya diri?
Gelombang Perlawanan Rakyat
Aksi protes ini tidak lagi hanya milik mahasiswa. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Bandung hingga Medan, rakyat lintas profesi ikut turun ke jalan. Para buruh, pelajar, ojek online, bahkan pedagang kecil, semuanya tumpah ruah membawa satu pesan: cukup sudah DPR hidup di atas penderitaan rakyat.
Namun, seperti pola lama yang terus berulang, jawaban negara terhadap jeritan rakyat hanyalah represi. Gas air mata menyesakkan jalanan, peluru menghantam tubuh mahasiswa, pentungan menghajar mereka yang menolak bubar. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom rakyat justru hadir sebagai lawan.
Di tengah kobaran perlawanan itu, jatuhlah korban. Salah satunya adalah Affan, seorang pengemudi ojek online, yang bukan aktivis garis depan, bukan orator politik, melainkan rakyat kecil yang hanya ingin pulang mencari nafkah. Namun, ia terjebak dalam kerusuhan dan menjadi salah satu korban nyawa. Affan kini adalah simbol bahwa represi negara tidak pandang bulu: rakyat biasa pun bisa menjadi korban hanya karena berada di jalan yang salah pada waktu yang salah.
Presiden yang Abai, Aparat yang Diganjar
Apa yang paling menyakitkan dari semua ini bukan hanya darah yang tumpah, tetapi juga diamnya penguasa. Dari berbagai pidato resmi, dari pernyataan yang keluar di media, tak sekalipun terdengar ucapan maaf dari Presiden. Tidak ada pengakuan salah, tidak ada tanggung jawab moral.
Alih-alih memberikan empati pada keluarga korban, negara justru memberikan penghargaan dan kenaikan pangkat kepada aparat yang bertugas saat demonstrasi. Apakah ini bentuk legitimasi atas kekerasan? Apakah ini isyarat bahwa nyawa rakyat bisa ditukar dengan bintang di pundak?
Sikap ini menambah jurang antara rakyat dan penguasa. Presiden yang semestinya berdiri sebagai simbol persatuan, kini terlihat lebih memilih berdiri di sisi aparat, bukan rakyat. Demokrasi tanpa nurani inilah yang membuat reformasi terasa seperti proyek yang gagal.
DPR dan Polri: Dua Lembaga yang Gagal Direformasi
Kedua institusi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru menjadi sumber kegelisahan rakyat. DPR, alih-alih menjadi penyambung aspirasi, telah menjadi menara gading yang jauh dari rakyat. Proses legislasi lebih sering ditentukan di ruang-ruang tertutup, dengan kalkulasi kekuasaan dan modal politik, bukan suara rakyat.
Sementara itu, Polri, yang pada 1998 dijanjikan akan direformasi agar humanis dan profesional, kini kembali pada wajah lamanya: militeristik, represif, dan politis. Kasus-kasus kekerasan aparat, praktik mafia hukum, dan penggunaan Polri sebagai alat kekuasaan memperlihatkan betapa reformasi di sektor keamanan hanya berhenti sebagai jargon.
Saatnya Menyalakan Api Revolusi
Inilah mengapa kita perlu berbicara tentang revolusi. Revolusi yang dimaksud bukan sekadar kerusuhan atau pergantian rezim secara paksa. Revolusi adalah perubahan mendasar dalam cara kita menata kekuasaan. Rakyat tidak lagi bisa menyerahkan seluruh nasibnya kepada elite politik yang sibuk dengan privilese. Rakyat harus mengambil kembali haknya untuk mengawasi, mengkritik, bahkan menghukum mereka yang mengkhianati mandat.
Revolusi harus menuntut reformasi total DPR, dengan memperketat transparansi, memperkuat partisipasi rakyat dalam legislasi, dan membatasi dominasi partai politik. Revolusi juga harus menuntut restrukturisasi Polri, mengembalikannya ke tugas utama sebagai pelindung rakyat, bukan alat penguasa.
Pertanyaan yang Harus Kita Jawab
Hari ini, sejarah menempatkan kita di persimpangan. Rakyat sudah kembali turun ke jalan. Korban sudah berjatuhan. DPR dan Polri sudah kehilangan kepercayaan. Presiden memilih diam.
Maka, pertanyaan yang harus kita jawab sebagai bangsa adalah sederhana namun fundamental:
Apakah kita rela membiarkan reformasi mati perlahan, ataukah kita siap menyalakan kembali api revolusi—demi Indonesia yang benar-benar berdaulat, adil, dan manusiawi?
Sebab demokrasi bukan hadiah. Demokrasi adalah perjuangan yang menuntut pengorbanan, keberanian, dan keberpihakan. Jika kita tidak melanjutkannya, maka pengorbanan 1998 dan pengorbanan Affan akan sia-sia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI