Mohon tunggu...
Wisal Albaist Sukanda
Wisal Albaist Sukanda Mohon Tunggu... Mahasiswa

Tidak punya panggung politik, tidak punya jabatan publik. Hanya seorang rakyat kecil yang percaya bahwa suara sederhana pun bisa menjadi bagian dari perjuangan menyalakan kembali api reformasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Yang Tertunda: Masa Depan Demokrasi Indonesia

3 September 2025   16:00 Diperbarui: 3 September 2025   15:40 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua institusi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru menjadi sumber kegelisahan rakyat. DPR, alih-alih menjadi penyambung aspirasi, telah menjadi menara gading yang jauh dari rakyat. Proses legislasi lebih sering ditentukan di ruang-ruang tertutup, dengan kalkulasi kekuasaan dan modal politik, bukan suara rakyat.

Sementara itu, Polri, yang pada 1998 dijanjikan akan direformasi agar humanis dan profesional, kini kembali pada wajah lamanya: militeristik, represif, dan politis. Kasus-kasus kekerasan aparat, praktik mafia hukum, dan penggunaan Polri sebagai alat kekuasaan memperlihatkan betapa reformasi di sektor keamanan hanya berhenti sebagai jargon.

Saatnya Menyalakan Api Revolusi

Inilah mengapa kita perlu berbicara tentang revolusi. Revolusi yang dimaksud bukan sekadar kerusuhan atau pergantian rezim secara paksa. Revolusi adalah perubahan mendasar dalam cara kita menata kekuasaan. Rakyat tidak lagi bisa menyerahkan seluruh nasibnya kepada elite politik yang sibuk dengan privilese. Rakyat harus mengambil kembali haknya untuk mengawasi, mengkritik, bahkan menghukum mereka yang mengkhianati mandat.

Revolusi harus menuntut reformasi total DPR, dengan memperketat transparansi, memperkuat partisipasi rakyat dalam legislasi, dan membatasi dominasi partai politik. Revolusi juga harus menuntut restrukturisasi Polri, mengembalikannya ke tugas utama sebagai pelindung rakyat, bukan alat penguasa.

Pertanyaan yang Harus Kita Jawab

Hari ini, sejarah menempatkan kita di persimpangan. Rakyat sudah kembali turun ke jalan. Korban sudah berjatuhan. DPR dan Polri sudah kehilangan kepercayaan. Presiden memilih diam.

Maka, pertanyaan yang harus kita jawab sebagai bangsa adalah sederhana namun fundamental:
Apakah kita rela membiarkan reformasi mati perlahan, ataukah kita siap menyalakan kembali api revolusi—demi Indonesia yang benar-benar berdaulat, adil, dan manusiawi?

Sebab demokrasi bukan hadiah. Demokrasi adalah perjuangan yang menuntut pengorbanan, keberanian, dan keberpihakan. Jika kita tidak melanjutkannya, maka pengorbanan 1998 dan pengorbanan Affan akan sia-sia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun